Sabtu, 21 Juli 2018

Back to Reality

"Back to reality", sebuah frase yang sering muncul ketika liburan telah usai. Saat libur, banyak orang pergi berlibur ke tempat lain, seperti ke tempat wisata atau ke kota lain untuk pulang kampung, mengunjungi saudara, dan lain-lain. Saat waktu libur hampir atau sudah usai, mereka pergi kembali ke tempat mereka menjalankan aktivitas rutin, seperti kuliah atau bekerja, dan di saat itulah banyak orang menulis "back to reality" di media sosial.

Awalnya, aku heran kenapa orang-orang berkata seperti itu. Emang yang terjadi selama berlibur itu bukan realitas? 
Aku pikir aku telah menemukan jawabannya.

Tahun ini, dua kali aku berkesempatan dinas di luar kota bersama orang-orang perkebunan. Di sana aku hidup dan bekerja dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan orang-orang yang ada bersamaku sehari-hari. Aku melakukan pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaanku sehari-hari. Jika biasanya aku meracik, mencicip, dan menegetik di kantor, kali ini aku hidup di perkebunan yang jauh dari kota, serta pergi ke sana kemari dalam perjalanan berjam-jam untuk melihat kebun-kebun serta hal lain. Di kesempatan pertamaku di bulan Januari lalu, perjalanan tersebut hanya berlangsung selama lima hari. Namun, di kesempatan kedua, perjalanan berlangsung selama 13 hari. Lebih panjang, lebih jauh, lebih lama aku hidup bersama orang-orang lain tersebut.

Saat itu, aku merasa diriku berubah. Hal-hal yang sehari-harinya menjadi beban pikiranku, hal-hal yang menjadi concern-ku, kali ini sama sekali tidak kupikirkan. Dalam beberapa hal, ini menjadi sesuatu yang positif. Pengalaman baru, pengetahuan baru. Namun, dalam hal lain, ini berakibat negatif, karena aku sedang berusaha memperbaiki suatu hal dalam diriku, tapi jadi tidak kuurus. Bahkan temanku pun jadi tidak kuurus, aku seperti lupa bahwa ada dia dalam hidupku.

Jadi bagaimana itu bisa terjadi?
Ketika berada di tempat sehari-hariku, tempat kerja di Sidoarjo, tempat jalan-jalan di Surabaya, kampung halaman di Malang, pikiranku tidak lagi mengamati hal-hal yang ada di luar. Karena sudah begitu terbiasa dengan apapun yang ada di luar (orang, jalan, bangunan, dll), pikiranku tidak lagi berfokus pada hal-hal tersebut sehingga dia punya kesempatan untuk memikirkan hal-hal yang dalam seperti masalahku, prinsipku, problem temanku, dan sebagainya.

Ketika aku berada di lingkungan yang sama sekali berbeda, fokus jadi beralih. Pikiranku sibuk mengamati hal-hal yang ada di luar. Orang, jalan, bangunan. Bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka berbicara, alang dan tongkonan. Apa yang kulihat saat bangun tidur, air yang sangat dingin, makanan yang kumakan. Semuuua berbeda. Akibatnya, tidak ada masalah, prinsip, dan teman dalam pikiranku.

Lucunya, ketika hometown semakin dekat, hal-hal yang dalam tersebut berangsur kembali muncul di pikiran.  Pikiranku seperti sedikit demi sedikit menjadi normal. Perjalanan berjam-jam, tiba di kos, masuk kerja di kantor, dan akhirnya.. back to reality.

Mungkin itu juga yang dirasakan orang-orang ketika berlibur. Untuk sejenak, mereka tidak berada di dalam realitas mereka dan akhirnya ketika kembali, mereka melihat realitas, back to reality.

Kamis, 08 Juni 2017

Kamus Kecil Dialek Jawa Tengah di Purwodadi

Ibuku berasal dari Purwodadi, Jawa Tengah. Aku sudah berkali-kali pergi ke sana untuk mengunjungi nenek dan saudara-saudara yang lain. Sejak dulu (mungkin sejak SMP), aku tertarik pada bahasa, atau mungkin lebih tepatnya dialek, yang digunakan oleh orang-orang di sana karena berbeda dengan dialek Malang.

Terakhir kali aku berkunjung ke sana, yaitu pada libur Lebaran tahun lalu, aku mencoba mencatat semua kata atau istilah dalam dialek mereka yang kudengar dan mencoba membuat kamus kecil.


Jawa sana
Jawa sini
Indonesia
adhine
adhike
adiknya
atis
adhem
dingin
bali
balik
kembali
bedo


bodo
riyoyo
lebaran
cedhak
cedhek
dekat
diundang
diceluk
dipanggil
elik
elek pol
jelek sekali
gene?
opo’o?
kenapa?
gloyoran

sempoyongan
ibune
ibuke
ibunya
inuk
enak pol
enak sekali
- iyo rik
- genah po ra rik
- rik kesusu


jupukke
jupukno
ambilkan
kawak
lawas
lama
kelo
kilo
kilo
kosik
engkok sik
nanti dulu
koyoto
koyok
seperti (disebutkan ketika memberi contoh)
lik


lik yo?
iyo?
oh ya?
Mbloro
Blora
Blora
ndhek kae
kapanane
beberapa waktu yang lalu
ndhek wingi
wingi
kemarin
nek
lek
kalau, jika
nganggo
nggawe, nggae
menggunakan
nguyoh (“o” seperti pada “tolong”)
nguyuh
kencing
njajal
cobak
coba
okeh
akeh
banyak
ora umum

tidak wajar
prigel
sregep
rajin, ulet
raroh (“o” seperti pada “tolong”)
gak ruh
tidak tahu
roti bandung
terang bulan
terang bulan
sisan
pisan, menisan
sekalian
suloyo


sumpyoh


tekan
- teko
- tutuk
- datang, tiba
- sampai
tekok
takok
tanya
tenin
temenan
sungguh
tinimbang
timbang, timbangane
daripada
upokoro


uthil
medhit
pelit
waung/haung?
asu
anjing
waye (atau “wire”?)
kipas angin
kipas angin
Yogjo
Jogja
Jogja

Ada beberapa kata yang aku lupa artinya atau tidak tahu padanannya.

Senin, 05 Juni 2017

Pengalaman Wow di Bandung

Tanggal 4-7 Mei lalu, aku berada di Bandung. Ini adalah untuk kedua kalinya aku pergi ke sana. Pada kunjungan pertamaku di bulan Februari lalu, aku memperoleh kesan bahwa Bandung adalah kota yang indah, sepertinya kota terindah yang pernah kukunjungi, banyak hiasan, walikotanya kreatif, pokoknya menyenangkan dan aku suka. Ketika aku diberitahu bahwa aku akan pergi ke sana lagi, aku senang sekali. Aku memutuskan untuk extend (memperpanjang waktu tinggal di sana, di luar waktu dinas) agar bisa berjalan-jalan. Namun kali ini, yang terjadi berbeda.

Hari Sabtu tanggal 6 Mei siang, aku berjalan-jalan bersama Steffy dan Timi hingga sore. Sekitar pukul 18.30, kami berpisah di stasiun, mereka pergi ke Jakarta. Jadilah aku sendirian di Bandung dan saat itulah pengalaman wow dimulai.

1. Menurut Maps, penginapan yang kutinggali pada hari itu (Araya Huis Homestay, di Jalan Belakang Pasar) terletak di dekat stasiun, kalau tidak salah jaraknya tidak sampai 2 kilo, maka aku berjalan ke sana. Ternyata, jalan yang ditunjukkan Google Maps adalah jalan tanah, bukan aspal, yang waktu itu sedang becek, banyak genangan air karena hujan yang terjadi pada siang harinya. Jalan itu gelap pula, seingatku tidak ada yang berjalan kaki di situ selain aku, lainnya adalah kendaraan bermotor. Jalan itu masih berada di area stasiun. Aku merasa jalan itu adalah jalan yang menyesakkan, jalan yang menurut standarku bukan jalan yang enak buat jalan kaki. Aku lega setelah akhirnya melihat jalan raya di depan..

2. Aku sampai di penginapan, meletakkan tas ranselku, lalu pergi lagi. Ketika sedang menunggu ojek online di ujung gang, ada sebuah mobil yang penuh dengan anak-anak muda berpakaian muslim. Mobil itu minggir ke arah gang, kemudian salah satu penumpangnya yang duduk di depan bertanya kepadaku dalam bahasa Sunda, "........... kadieu?", sambil tangannya menunjuk gang itu. Aku hanya menangkap kata "kadieu", dan yang aku tahu, kata itu artinya "sini" (dan ternyata artinya "ke sini"). Maka pikirku, orang itu sedang bertanya, "Apakah boleh lewat sini?". Aku jawab "Nggak tahu". Aku memang tidak tahu.

3. Saat itu, aku ingin mendapatkan kaos Persib (klub sepakbola terkenal dari Bandung) sebagai suvenir. Sejak beberapa hari sebelum pergi ke Bandung, aku mencari-cari toko merchandise Persib di Google dan menemukan satu toko yang terletak di pusat kota, maka malam itu aku pergi ke sana. Yang kubayangkan, nanti di toko itu aku akan masuk, melihat-lihat, kalau ada yang cocok ya beli, sesimpel itu. Sesampainya di sana, ada tukang parkir, aku bertanya kepadanya "Tokonya buka?", lalu tukang parkir itu mengiringi langkahku sambil bertanya "Dari mana?", aku bilang "Dari Surabaya", lalu dia berkata "Oo.. Bonek ya?", aku hanya "Hehe..", lalu dia berkata kepada orang-orang di depan toko itu "Ini dari Surabaya..", dan mereka mempersilakan aku masuk.
Fyi, suporter Persib, alias Viking (sebenarnya ada yang disebut "Bobotoh" juga), bersaudara dengan Bonek, suporter Persebaya. Kedua kelompok suporter ini bermusuhan dengan Aremania (suporter Arema) dan Jakmania (suporter Persija). Aku orang Malang, bukan Bonek, tapi aku takut ketika ditanya seperti itu. Akhirnya aku hanya menjawab, "Hehe..".
(Maaf rekan-rekan Aremania sekalian)

4. Anda tau patung pastor yang terkenal di Bandung, yang konon ketika malam bisa menolah-noleh? Namanya adalah patung Pastor Verbraak. Patung ini terletak di Jalan Ambon, di dekat toko yang tadinya aku kunjungi. Aku berjalan ke sana. Ternyata, sebagian besar jalan yang kulalui (jalan pulau-pulauan) juga merupakan jalan yang sepi pejalan kaki. Banyak pohon tinggi, kendaraan lumayan banyak, tapi tidak ada orang jalan kaki. Patung itu terletak di dalam sebuah taman yang dikelilingi pagar. Taman itu gelap, banyak pohon, jadi dapet banget suasana horornya. Herannya, jalan di samping taman itu juga gelap, sepertinya sama sekali tidak ada lampu jalan, padahal dilalui banyak kendaraan. Heran aja sih, ini jalan di tengah kota kok bisa nggak ada lampunya gini ya..
Ketika aku sedang mengamat-amati patung itu dengan senter HP, aku melihat ada sepeda motor baru datang dan parkir di dekat situ, tapi tidak kuhiraukan. Ternyata sesaat kemudian, pengendaranya berdiri di dekatku, lalu terjadi dialog.
D : Ngapain?
A : (dengan ramah) Ini lho liat patung, ini kan patung terkenal..
D : Dari mana?
A : Surabaya. Kalo A'a tinggalnya dimana?
D : Di Cihampelas.
A : Oo..
D : Sendirian?
A : Iya.
D : Ngapain?
A : Ya jalan-jalan sendiri aja, muter-muter..
D : Cari cewek?
A : Enggak..
D : Ngapain?
A : Ya jalan-jalan aja.

Intinya begitu. Aku pikir ini orang kok tanyanya muter-muter ya, udah berkali-kali tanya "Ngapain?". Dan ekspresinya itu lho, senyum ya enggak, datar ya enggak, pokoknya aneh. Lama-lama aku takut, lalu berpamitan, aku pergi dari situ.

5. Setelah itu, aku berjalan-jalan hingga menjelang tengah malam, kemudian kembali ke penginapan. Saat berjalan ke penginapan, aku ingat bahwa jalan di seberang gang penginapanku adalah Jalan Saritem, tempat prostitusi. Sejak dulu aku penasaran, ingin tahu seperti apa suasana di dalam lokalisasi, tapi sayangnya Dolly, yang notabene dekat, sudah ditutup. Menurut artikel yang kubaca, Saritem juga sudah ditutup, tapi masih ada kegiatan. Akhirnya kucoba masuk jalan tersebut. Di depan ada kantor polisi. Berjalan lebih dalam lagi, di sebelah kiri ada sebuah gang, di depannya ada beberapa bapak berdiri, mereka menawari, "Silakan..", sambil jempol tangan kanannya mengarah ke gang tersebut. Aku menolak dan terus berjalan. Ada gang lagi, ada lagi yang menawari, ada gang lagi, dst. Lama-lama penasaran juga. Dengan jantung berdegup kencang, aku memutuskan untuk masuk. Aku berkata kepada bapak-bapak yang di situ "Mau liat-liat doang Pak", mereka mempersilakan, tapi ada yang ngomong "Liat-liat doang mah bla bla bla" (nggak denger ngomong apa).
Di dalam, suasananya tidak seperti yang kubayangkan (kupikir ada "akuarium"). Hanya gang kecil, rumah-rumah, kadang ada orang-orang lagi ngobrol. Kemudian ada empat cewek berpakaian minim lewat. "Oo.. ini dia..". Cuma itu terduga PSK yang kulihat. Yang menarik, ada banyak laki-laki muda sliweran di situ. Kemudian aku keluar, balik ke penginapan.

6. Pagi, aku berencana pergi ke gereja jam 5 lebih (ibadah jam 6, perginya jalan kaki). Selesai mandi, aku mencari celana panjangku, ternyata tidak ada. Aku baru sadar bahwa celanaku tertinggal di hotel tempatku menginap sebelumnya, bersama polo shirtku. Akhirnya aku berjalan ke hotel itu (di Jalan Braga) dan untungnya kedua pakaian itu masih ada.

7. Ini puncak dari rangkaian peristiwa wow. Siang hari, aku sedang berjalan-jalan di Jalan Dewi Sartika. Karena harus check-out penginapan maksimal jam 12, aku berjalan kembali ke penginapan. Aku berjalan sambil melihat Maps di HP di tangan kanan. Di Jalan Asia Afrika, entah di sebuah pertigaan atau perempatan, aku sedang menunggu saat untuk menyeberang. Di situ ada beberapa orang yang mau menyeberang. Tiba-tiba, betis kiriku dipukul-pukul orang. Aku melihat betisku, ada seorang bapak sedang jongkok dan memukul-mukul betisku dengan telapak tangannya. Aku otomatis maju, lalu bertanya "Kenapa Kang?", lalu dia menunjukkan satu pack tisu kecil sambil berkata "Ini.. Udah.", lalu pergi. Aku memandangi orang itu sambil berpikir "Kenapa ya?", lalu berjalan ke seberang. Aku pikir "Oh mungkin tisu dia tadi jatuh, keinjek aku". Sampai di seberang, setelah beberapa langkah, aku mencari HPku, di saku celana nggak ada, lalu aku ingat "Tadi kan aku pegang?", dan aku sadar bahwa HPku diambil orang ketika betisku dipukul-pukul. Aku mencoba mencari ke tempat tadi, tidak ada. Aku tanya seorang tukang becak "Pak, tadi liat ada orang mukul-mukul kaki saya nggak?", dia bilang nggak liat. Ya sudah..

Aku tidak tahu apakah itu gendam atau bukan. Mungkin dia memukul-mukul betisku hanya untuk mengalihkan perhatianku, lalu rekannya mengambil HP dari tanganku.
Singkat cerita, karena tidak ada HP, aku naik taksi seadanya ke bandara (padahal pengennya naik Uber atau Blue Bird). Sampai di bandara, aku diminta membayar 200 ribu. Buset, mahal amat. Padahal bandara Bandung itu masih di kota lho, bukan di pinggiran kayak di Surabaya atau Jakarta.

Satu-satunya nomor HP teman yang kuingat adalah nomor HP Jane. Sepanjang perjalanan ke bandara, aku berusaha mengingat-ingatnya. Di bandara, aku meminjam HP orang. Yang pertama, aku meminjam Instagram orang yang duduk di sebelahku untuk menghubungi Yonatan dan adikku lewat direct message. Setelah HPnya kukembalikan, aku menunggu, seperti tidak ada balasan, lalu orang itu pergi. Datang orang lain duduk di tempat itu dan aku pinjam HPnya. Dia mempersilakan aku untuk mengirim SMS dan aku SMS Jane. Kukembalikan HPnya, tidak ada balasan, lalu tiba giliranku check-in. Di ruang tunggu, aku pinjam HP orang lagi. Kali ini dia mempersilakan aku menelepon. Ya sudah, kutelponlah Jane, kemudian aku merasa lega..

Begitulah. Kunjungan ke Bandung kala itu memberi kenangan buruk. Hingga saat ini, aku jadi malas melihat atau mengingat segala hal yang berhubungan dengan Bandung. Lihat foto males. Kalau Persib main di TV, aku ganti channel. Ini aja aku terpaksa melihat peta Bandung, dalam rangka membuat tulisan ini.

Selasa, 02 Mei 2017

Persepsi Tua

Suatu hari, pembina persekutuan Kristen di SMA-ku berulang tahun (sebut saja "Mbak M"). Kebetulan hari itu adalah hari Jumat, waktunya persekutuan doa (di kampusku biasa disebut "PD"). Seperti biasa, saat PD, orang yang berulang tahun menyampaikan sepatah-dua patah kata di depan (sharing). Dia bercerita bahwa ketika dia bangun tidur dan menyadari bahwa usianya sudah 20 tahun, dia merasa sedih. Dia sedih karena umurnya sudah berkepala dua. Dia merasa bahwa usia yang berakhiran "belas" terdengar keren, terkesan muda. "Tujuh belas", "delapan belas", "sembilan belas" terdengar keren jika dibandingkan dengan "dua puluh". Intinya, dia merasa bahwa dirinya sudah tua. Mendengar itu, aku mengernyitkan dahi dan berpikir, "Dua puluh itu masih muda kale".

Dulu aku mendasarkan standar usia tua-mudaku pada dunia olahraga. Di sepakbola contohnya, biasanya pemain yang berusia 30an sudah disebut senior atau tua. Maka saat itu aku punya persepsi bahwa umur belasan dan 20an itu muda, sedangkan 30an ke atas itu tua. Mbak M kala itu berusia 20 tahun, maka dia muda. Oleh sebab itu, ketika dia berkata bahwa dia sudah tua, aku merasa heran, seperti "Lapo se wong iki, masih muda kok ditua-tuain".

Persepsi seperti itu kutemukan juga pada orang-orang, masyarakat, atau lingkungan di sekitarku. Contoh gampang, ketika ada seseorang yang sudah berusia 30-an namun belum menikah, khususnya wanita, orang-orang biasanya berpikir bahwa dia sudah terlalu tua, sudah waktunya menikah, ngapain sih kok nggak nikah-nikah, dsb. 

Saat kuliah, aku suka Korea. Aku suka K-Pop, serial, reality show Korea, dsb. Aku menemukan suatu hal pada orang Korea yang membuatku tercengang, mereka sepertinya punya persepsi tua-muda yang berbeda dari kita. Aku melihat ada banyak artis yang sudah berusia 30an, baik pria maupun wanita, namun belum menikah dan sepertinya tidak ada masalah dengan itu. Mereka terlihat hepi-hepi aja, bahkan terlihat berjiwa muda. Kalau kita lihat dalam sinetron-sinetron di sini, kebanyakan yang membintangi adalah artis-artis muda, yang berusia 20an atau bahkan belasan, tapi di Korea, aku melihat seringkali ada artis wanita berusia 30an yang menjadi tokoh utama suatu drama dan drama tersebut meledak, banyak orang suka, ratingnya tinggi.

Melihat Korea membuat persepsi tua-mudaku berubah. Aku saat ini cenderung melihat orang yang berusia 30 sampai 45 tahun sebagai orang yang masih muda. Maka kalau ada orang berusia 40an yang kupanggil "Mas" atau "Ce", bagiku bukan suatu masalah. 

Tidak dapat dipungkiri, dalam beberapa hal, tua-muda memang merupakan suatu persepsi, bukan suatu hal yang mutlak.
Waktu kelas 6 SD, ada perasaan senior atau tua dalam diriku, karena memang saat itu angkatanku adalah yang paling tua di sekolah. Aku yang saat itu tua masuk SMP, jadi yang termuda di sekolah, jadi muda lagi. Kelas 3 SMP, aku jadi yang tertua di sekolah. Lalu aku masuk SMA, jadi muda lagi. Kelas 3 SMA jadi tua lagi. Masuk kuliah jadi muda lagi. 5,5 tahun kemudian merasa tua banget, karena nggak lulus-lulus. Masuk kerja jadi muda lagi, dan nanti seterusnya. 
Look, tua-muda adalah persepsi.

Kalau ada seorang atlet berusia 19 tahun, dia disebut muda, kalau berusia 35 tahun, dibilang tua. Namun kalau ada presiden berusia 40an, seperti Obama, dia dibilang "presiden muda" (seingatku, Jokowi juga begitu).
Look, tua-muda adalah persepsi.

Seringkali aku melihat teman-temanku menua-nuakan dirinya sendiri maupun orang lain. Umur baru 26 sudah merasa dirinya tua, menyebut teman lain yang berusia 32 "sudah tua", "orang tua", dsb. Ketika mendengar itu, aku selalu merasa prihatin. Ketika orang berkata, "Aku sudah tua", perasaan yang timbul biasanya adalah perasaan sedih, seperti meratapi nasib, seperti Mbak M. Kalau kamu masih berumur 20an, ya ngapain gitu lho kamu sedih, meratapi nasib karena merasa dirimu tua? Namun kembali lagi, tua-muda adalah persepsi, hanya saja aku berpikir bahwa mereka terlalu cepat merasa tua.

Aku lebih percaya pada pengelompokan usia seperti dalam tabel ini :



Menua-nuakan diri dapat melelahkan pikiran kita sendiri dan menua-nuakan orang lain dapat menyakiti hati orang tersebut.

Selasa, 17 Januari 2017

Ke Jakarta, 8 Januari 2017

Minggu, 8 Januari 2017, aku pergi ke Jakarta dalam rangka dinas. Aku mengalami empat kejadian menarik.

1. Aku pergi ke Jakarta dengan pesawat dari Juanda dan pergi ke Juanda dari Malang. Di terminal Arjosari, saat itu, aku dan Jane sedang menunggu bus Patas berikutnya. Bus yang sedang parkir di situ sudah penuh penumpang dan mulai beranjak untuk berangkat ke Surabaya. Ketika bus itu berjalan mundur keluar dari tempat parkirnya, ia menabrak bus yang sedang berjalan melintang di belakangnya. Inilah pertama kali aku melihat bus bertabrakan.

2. Di Juanda, aku sedang menunggu waktu keberangkatan. Aku duduk di kursi kiri di sebuah rangkaian yang terdiri dari tiga kursi. Di kursi kanan, duduk seorang pria bule tua. Tiba-tiba datanglah dua orang pria pribumi, mereka minta bule tersebut untuk berfoto bersama. Masing-masing mereka berfoto bergantian dengan merangkul si bule. Aku berpikir, "Ngapain sih orang-orang ini? Norak banget". Hahaha.. Maaf.
(Sebenarnya, istilah "pribumi" punya konotasi negatif dalam pikiranku, karena bagiku istilah itu bernada rasis, tapi aku tidak tahu istilah lain yang bisa menggantikannya.)

3. Di pesawat, seperti biasa, menjelang take-off, pramugari memberi panduan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi kondisi darurat. Beberapa saat setelah panduan itu selesai diberikan, seorang pramugari mendatangi pria yang duduk di depanku. Dia meminta pria tersebut untuk pindah ke sebuah kursi di dekat pintu darurat karena orang yang duduk di kursi tersebut tidak bersedia memikul tanggung jawab untuk membuka pintu darurat jika hal buruk terjadi. Aku penasaran, kenapa pria itu yang dipilih? Apakah ada kriteria tertentu untuk seseorang agar dapat ditunjuk menjadi pembuka pintu darurat?

4. Aku pertama kali naik pesawat pada tahun 2014. Ketika itu, saat pesawat mulai turun, telingaku sakit sekali dan  pendengaranku berkurang (jadi agak budheg) hingga beberapa jam setelah mendarat. 8 Januari lalu, aku naik pesawat untuk ketujuh kalinya. Telinga tidak lagi sakit, namun pendengaran tetap berkurang. Susahnya, kali ini aku pergi sendirian, naik taksi sendiri, harus bercakap sendiri dengan sopir, berdiskusi soal jalan yang mau kami lewati dengan kondisi agak budheg. Aku takut kalau-kalau aku tidak mendengar kata-kata si sopir dan kemudian dibawanya berputar-putar mengelilingi Jakarta. Tapi puji Tuhan itu tidak terjadi. Sebelumnya, aku selalu naik pesawat ke Jakarta bersama teman sehingga meski telingaku agak budheg, aku tetap tenang..

Senin, 12 Desember 2016

Channel TV Hilang

Akhir tahun 2008, sebagian channel menghilang dari televisi di Malang. Aku teringat akan peristiwa itu dan aku pikir itu adalah peristiwa yang menarik, itulah sebabnya aku ingin menulisnya.

Dari hasil browsing-ku, ternyata peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 Desember 2008. Saat itu, aku kuliah semester 1. Yang hilang adalah channel-channel yang saat itu merupakan channel favorit banyak orang, seperti Trans TV, Trans 7, TV One, dan Global TV. Metro TV juga menghilang, tapi karena televisi di tempat tinggalku memang tidak bisa menerima Metro TV, aku tidak merasa kehilangan. Selain itu, channel-channel TV lokal juga hilang.

Di TV hanya tersisa Indosiar, RCTI, SCTV, ANTV, dan TVRI. Film, komedi, dan berita yang bagus hilang, yang tersisa kebanyakan adalah sinetron.. Betapa kesalnya diriku. Saat itu, sedang terjadi perang besar antara Israel dan Hamas, dan aku hanya bisa menunggu beritanya di TVRI setiap jam 9 malam (kalau tidak salah), sedangkan channel yang lain tidak bisa kuharapkan. Padahal aku berharap bisa menontonnya di TV One, yang notabene adalah stasiun TV berita, sehingga beritanya tentu saja lebih update dan intensif. Karena kesal dan penasaran, berulang kali aku mencoba untuk mereset dan mencari ulang channel di TV kami.

Peristiwa tersebut ternyata terjadi karena persoalan izin, tepatnya "Izin Rekomendasi Kelayakan". Balai Monitor Depkominfo menghukum stasiun-stasiun TV tersebut karena masalah itu. Ceritanya bisa dibaca di link ini :
http://googleweblight.com/?lite_url=http://www.fair-de.com/2009/03/hilangnya-beberapa-stasiun-tv-di-malang.html?m%3D1&ei=NJ6IxNBp&lc=en-ID&s=1&m=657&host=www.google.co.id&ts=1481555957&sig=AF9NednbhrpU90Wqf4gLnYZb4fMSbx0FUg

Kejadian itu berlangsung cukup lama. Mungkin saat itu, aku sudah mulai terbiasa dengan kondisi tersebut. Hingga suatu malam, di pertengahan semester pertama tahun 2009, salah seorang teman (kalau tidak salah Lulut) mengabariku lewat SMS bahwa Trans TV dkk sudah kembali! Aku mencarinya di TV dan ternyata benar! Oh.. Terima kasih Tuhan.. Dari hasil browsing-ku, ternyata itu terjadi pada tanggal 8 April 2009.

Begitulah.. bagaimana menghilangnya saluran TV saat itu dapat menyebabkan hidupku sedikit terasa hampa..

Senin, 28 November 2016

Tempat Nongkrong

Kamis, tanggal 17 November 2016, aku mengambil cuti. Saat itu, aku makan siang di food court Mitra, yang dulunya disebut "Mitra 1". Di situ ada sekumpulan kakek-kakek sedang mengobrol, mungkin mereka bisa disebut "lagi nongkrong". Beberapa kali aku mengunjungi food court Mitra, sepertinya mereka selalu ada. Mereka mengobrol ditemani beberapa gelas minuman, yaitu jeruk dan teh, serta sekotak kue bikang.

Kita, para remaja dan pemuda masa kini, juga suka nongkrong. Biasanya, kita nongkrong di kafe. Kafe pada umumnya menjual makanan dan minuman dengan harga mahal. Konon, harga yang kita bayar di kafe bukan hanya harga sajiannya, namun juga ongkos kita duduk berjam-jam di sana.

Aku sendiri secara umum tidak suka nongkrong di kafe. Aku seringkali kecewa ketika bersantap di kafe karena makanan di sana berharga mahal namun ukurannya kecil dan rasanya biasa saja. Sejauh ini, kafe yang kusukai hanya satu, yaitu kafe di dalam toko "Lai-Lai" di Malang, yang sering orang sebut "Illy". "Illy" sebenarnya adalah merek kopi asal Italia. Kafe itu menggunakan kopi tersebut dan memajang papan nama (papan nama?) "Illy". Mungkin itulah sebabnya orang menyebut kafe itu "Illy".

Hal yang menarik bagiku dari sekumpulan kakek itu adalah mereka nongkrong dengan biaya murah. Coba pikirkan, jika satu orang memesan segelas jeruk atau teh dan 3 buah kue bikang, berapa harga yang harus mereka bayar? Mungkin tidak sampai 15 ribu. Dengan uang sesedikit itu, mereka bisa berkumpul bersama teman-teman dan mengobrol hingga berjam-jam. Bandingkan dengan uang yang harus kita keluarkan ketika kita nongkrong di kafe.

Tapi di masa sekarang, siapalah anak muda yang mau diajak nongkrong di Mitra.. Mitra merupakan mall jadul, yang popularitasnya sudah digeser oleh mall-mall baru yang jauh lebih berkilau. Aku sendiri suka nongkrong di food court Mitra karena romantisme masa lalu (waktu kecil, aku sering pergi ke sana bersama keluargaku). Di sini aku melihat, untuk nongkrong, untuk berkumpul dan mengobrol bersama teman-teman, seringkali kita harus mengeluarkan biaya mahal..