Selasa, 06 Oktober 2015

Pergi ke Gunung Kawi (4 - Suvenir)

Sejak awal, aku berniat membawa suvenir dari Gunung Kawi. Yang ada di pikiranku, suvenir itu berupa kaos yang bertulisan "Gunung Kawi", namun ketika berada di lokasi, aku mengurungkan niat untuk membeli kaos karena biasanya harga kaos mahal. Selain itu, setelah kulihat sekilas di toko-toko suvenir, kaos yang bertulisan "Gunung Kawi" tidak bagus.

Aku mengunjungi toko dimana sebelumnya aku membeli sesuatu untuk memecah uang. Aku tertarik pada gantungan kunci yang bergambar hewan-hewan shio. Akhirnya, aku membeli yang bergambar babi karena aku suka makan babi. Harganya Rp 5.000.





Ketika berjalan menuju terminal, aku melihat di beberapa kios dan toko ada kantong berwarna merah dan kuning, bertulisan “Tempat Kembang dari Pesarehan Gunung Kawi”. Aku tidak mengerti maksud dari tulisan itu. “Bunga apa yang disimpan? Masak bunga yang dijual buat nyekar itu disimpan?” Akan tetapi, karena ada tulisan “Gunung Kawi”, aku tertarik dan membelinya. Harganya Rp 2.000.





Dalam perjalanan pulang, aku baru sadar bahwa mungkin kantong itu digunakan untuk menyimpan bungkusan-bungkusan yang diberikan oleh juru kunci di makam. Aku berpikir demikian karena aku beberapa kali melihat benda semacam itu digantung di atas pintu di beberapa toko.

Aku penasaran dengan isi bungkusan-bungkusan itu. 




Dari celah pada bungkusan berwarna coklat terlihat ada bunga. “Oo.. isinya bunga.” Tapi bungkusan yang lain, yang berbungkus koran dan selembar kertas merah bertitik-titik hitam yang diikat dengan karet, isinya tidak terlihat. Yang jelas, semua bungkusan itu berbau kemenyan. Bagian dalam tasku pun turut berbau kemenyan.

Di rumah, aku membuka satu bungkusan coklat dan bungkusan koran. Ternyata, bungkusan coklat memang berisi bunga. Bungkusan koran ternyata berisi kemenyan.






Isi bungkusan coklat yang sudah terbuka kubuang dan kertasnya kusimpan. Dua bungkusan yang lain aku simpan di dalam kantong yang tadi kubeli dan kuletakkan di dalam lemari. Bukan sebagai jimat, melainkan sebagai suvenir. Menurut salah satu sumber, bungkusan-bungkusan itu memang hanya merupakan kenang-kenangan dari pengelola makam, namun pengunjung mengeramatkannya.

Bunga dan kemenyan adalah ciptaan Tuhan, maka aku percaya bahwa tidak ada hal jahat pada kedua benda itu. Namun karena digunakan dalam ritual-ritual, kesan kedua benda itu menjadi negatif. Berdasarkan ajaran yang kuanut, aku tidak percaya bahwa setan mendiami benda-benda, karena itu aku menyimpan suvenir itu.

Demikian cerita tentang perjalananku ke Gunung Kawi. Semoga bermanfaat bagi Anda. 
Anda bisa membaca uraian yang lebih lengkap mengenai Wisata Ritual Gunung Kawi di sumber-sumber lain, salah satunya dalam blog Laurentia Dewi.

Pergi ke Gunung Kawi (3 - Di Lokasi Wisata)

Aku pikir perjalananku saat itu begitu menarik sehingga aku ingin menulisnya. Aku pikir cerita ini juga bisa jadi kontroversial. Haha.. terkesan berlebihan. Namun percayalah, jika aku menceritakan kisah ini kepada semua orang yang kukenal, sebagian besar dari mereka akan memberi tanggapan negatif.

Aku sudah melihat entah gerbang atau gapura yang aku yakini sebagai jalan menuju lokasi karena jalannya berupa tangga (aku ingat bahwa jalan menuju lokasi wisata berupa tangga), namun Pak Sopir tidak menurunkan aku di situ. Aku juga sudah melihat terminal dimana banyak angkot parkir, tetapi angkot terus berjalan naik dan aku diam saja, hingga tiba di suatu parkiran. Aku sebelumnya bertanya kepada sopir berapa tarif angkot sampai Gunung Kawi, tapi aku tidak mendengar dengan jelas jawabannya dan tidak bertanya lagi. Yang pasti berakhiran “-las ewu”. Aku beri dia uang Rp 15.000 dan dia mengucapkan terima kasih. Menurut sebuah website, tarifnya adalah Rp 10.000, tetapi itu pada tahun 2013.

Begitu kami tiba, seorang Bapak datang menyambut menuju angkot, berbincang sebentar dengan sopir, kemudian aku turun dan angkot pergi. Bapak tersebut menunjukkanku jalan menuju makam. Ternyata, lokasi dimana angkot menurunkanku memang lebih dekat dengan lokasi makam. Dia bertanya “Mau ke makam ya? Dari mana? Sekolah atau kerja?”, dan sebagainya. Dia terus berjalan bersamaku. Aku curiga bahwa orang ini adalah pemandu tak diundang yang pada akhirnya akan meminta uang. Dia menyuruhku membeli bunga pada seorang penjual bunga. Di sana ada banyak kios penjual bunga, namun saat itu hanya sedikit yang berjualan. Ada pilihan bunga yang seharga Rp 2.000 dan Rp 5.000 (yang Rp 5.000 lebih banyak). Aku pilih yang Rp 2.000. Bunga tersebut sudah diletakkan pada nampan.

Seperti yang telah kuceritakan di bagian 1, saat pertama kali pergi ke sana, aku ingin sekali masuk area makam, namun tidak masuk. Aku bertekad kali ini mau masuk. Aku ingin melihat bagian dalam area makam dan aku ingin melihat makam itu dari dekat. Oleh karena itu, aku pikir aku harus membeli bunga supaya aku terlihat punya alasan untuk mendekati makam (untuk nyekar).

Si Bapak terus berjalan mengiringiku dan membawakan bunga tersebut. Sesampainya di depan area makam, dia menyuruhku untuk cuci tangan dulu di toilet. Aku pergi ke toilet, mencuci tangan dan muka, kemudian kembali. Setelah itu, kami masuk.

Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan berarsitektur Jawa. Di bagian depan dalam bangunan tersebut terdapat semacam aula yang beralas karpet hijau untuk pengunjung. Di kedua sisi aula terdapat beberapa jam antik. Makam terletak di bagian dalam. Di situ ada beberapa orang yang berpakaian adat Jawa, yang mungkin disebut juru kunci.

Setelah kami masuk, kami duduk di bagian belakang aula, di dekat pintu. Kemudian salah seorang yang kusebut juru kunci itu mendatangi kami. Dia memberiku beberapa bungkusan kecil dan berkata bahwa benda-benda itu nanti untuk aku bawa ke makam dan salah satunya untuk aku bawa pulang. Dia dan Pak Pemandu memintaku dengan halus untuk memberi uang seikhlasku sebagai ganti benda-benda itu. Aku menolaknya. Aku berkata bahwa aku tidak mau menggunakan benda-benda itu dan hanya mau memberi bunga (aku pikir aku akan menabur bunga di makam itu). Aku berpikir bahwa benda-benda itu merupakan persembahan bagi makam sehingga tentu saja aku tidak mau melakukannya. Mereka tidak mempermasalahkan, namun tetap memohon uang untuk “yang bersih-bersih”. OK, aku beri Rp 10.000. Kemudian Pak Pemandu berkata, “Lima ribu lagi mas.” Aku memberinya Rp 5.000 dan dia meletakkannya di atas tumpukan bunga tadi.

Selanjutnya, aku diajak maju ke makam. Aku tidak ingat bunga itu kemudian dibawa oleh Pak Pemandu atau si juru kunci yang membawa bungkusan tadi, dan sepertinya bunga itu diserahkan kepada juru kunci yang berada di makam. Hal itu terjadi begitu cepat dan karena Pak Pemandu terus berbicara kepadaku, aku jadi tidak bisa memperhatikan detail proses tersebut. Mungkin lain kali aku akan mencobanya lagi.

Ternyata, aku tidak menaburkan sendiri bunga ke makam. Aku bahkan tidak duduk di pinggir makam. Anda bisa mencari gambar makam tersebut di Google. Aku tidak memotretnya karena dilarang. Ada batas antara makam dengan pengunjung. Di situ, aku disuruh Pak Pemandu berdoa, bersemedi, kepada Tuhan dengan menyebut nama “Eyang Djoego” dan “Eyang Soedjo” dan menyampaikan permohonanku. Aku hanya terus menjawab “Iya.” Kemudian timbullah rasa kuatir bahwa orang itu akan meminta uang, maka aku berkata kepadanya “Pak, njenengan tilar mawon mboten nopo-nopo. Kulo badhe mlampah-mlampah (Pak, Anda tinggal saja, tidak apa-apa. Saya nanti mau jalan-jalan).” Lalu dia berkata bahwa dia akan menunggu di belakang. Ya sudah..

Di situ terdapat dua makam, yang satu makam Eyang Djoego dan yang lain makam Eyang Soedjo. Di internet ada banyak sumber yang menceritakan siapa mereka. Di depan makam itu tentu aku tidak berdoa, tetapi duduk diam dan melihat-lihat. Aku melihat makam, hiasan-hiasan di sekitarnya, asap kemenyan, sang juru kunci yang sibuk entah melakukan apa saja, dan suatu keluarga di sampingku yang sepertinya terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan, sedang khusyuk berdoa. Sang juru kunci kemudian meletakkan bungkusan-bungkusan kecil di depan kami. 

Setelah beberapa saat mengamati, ditambah dengan kekuatiran atas barang-barang berhargaku di dalam tas yang tadinya kutinggalkan, aku memutuskan kembali ke belakang. Baru sejenak aku berdiri, Pak Pemandu maju menghampiriku dan berkata “Itu diambil, Mas.” Ternyata, bungkusan-bungkusan kecil yang diletakkan juru kunci di hadapan kami adalah untuk dibawa pulang. Pak Pemandu mengambilnya untukku. Kami kembali duduk, lalu Pak Pemandu memberikan bungkusan-bungkusan itu kepadaku. Ada tiga buah bungkusan. Dia berkata, “Ini nanti yang satu sampeyan buka, direndem di air lima menit, terus diminum dan dipakai mandi. Yang dua sampeyan simpen di lemari, ditaruh paling atas, jangan dicampur pakaian dalam.” Aku mengiyakannya dan memasukkan benda-benda itu ke tas. Kemudian Pak Pemandu berkata, “Jangan sampai tas sampeyan dilangkahi.” Dia lalu berkata bahwa aku nanti bisa mendapat berkah, seperti naik pangkat, naik gaji, disenangi bos, dan sebagainya.

Kami berbincang sebentar. Dari situ aku tahu bahwa jam-jam antik yang diletakkan di situ adalah pemberian orang-orang yang sudah mendapat berkah sebagai ucapan terima kasih. Pak Pemandu kemudian meminta uang seikhlasku sebagai tips. Karena uang kecilku sudah tinggal sedikit, aku berkata bahwa aku perlu menukar uang. Dia kemudian menyarankan untuk membeli sesuatu di toko di luar supaya mendapat kembalian. Sebelum keluar, aku bertanya apakah nanti aku bisa kembali masuk area makam, dan dia berkata “Bisa, tapi sebentar lagi makam tutup, buka lagi jam 3.” Saat itu memang akan diadakan selamatan yang menurut jadwal adalah jam 10 dan ternyata setelah selesai selamatan, makam akan ditutup sampai tiba waktu ziarah berikutnya. Kamipun keluar.

Saat itu aku menemukan hal aneh. Tadi ketika mau masuk, aku mau melepas sandalku di tangga depan pintu. Ada seorang penjaga yang juga berpakaian adat di luar pintu, dia memintaku untuk meletakkan sandalku di suatu tempat di sebelah pintu, padahal aku lihat alas kaki orang-orang diletakkan di tangga. Aku tidak menghiraukannya dan tetap meletakkan sandalku di tangga. Ketika keluar, aku melihat kedua sandalku sudah tertumpuk di tempat di sebelah pintu itu tadi. Aku tetap tidak tahu kenapa sandalku harus diletakkan di situ.

Aku dan Pak Pemandu berjalan ke toko, lalu aku membeli sesuatu dan memberinya sedikit uang. Sebelum berpisah, dia menyarankanku untuk pulang paling lambat jam 2, karena di atas jam 2 sudah sulit mendapatkan angkot. Kemudian kamipun berpisah.

Aku berjalan kembali ke makam. Di situ selamatan sedang berlangsung. Saat selamatan berlangsung, pengunjung tidak bisa maju mendekati makam. Aku duduk di tempat yang sama dan mengamati acara selamatan itu. Ada empat keluarga yang mengikuti selamatan. Di depan mereka masing-masing ada besek yang berisi makanan. Juru kunci mengucapkan doa dengan suara keras untuk orang-orang itu. Tampaknya semua peserta sudah memberikan daftar pokok doa sebelum acara berlangsung. Satu pokok doa yang selalu kuingat adalah untuk seorang anak yang akan kuliah di Kanada. Dari doa yang juru kunci ucapkan, aku menyimpulkan bahwa mereka menggunakan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo sebagai pengantara antara mereka dengan Tuhan. Selain mengamati selamatan, aku juga mengamati arsitektur di dalam bangunan. Aku mengamati langit-langit, pilar-pilar berukir, dan lain-lain.

Untuk mengikuti selamatan, kita perlu mendaftar di loket dan membayar. Di atas loket ada daftar harga. Harga selamatan tergantung pada makanan yang mau kita beli. Seingatku, harga untuk “ayam biasa” adalah Rp 80.000. Anda bisa mendapatkan info lengkap tentang jenis-jenis perlengkapan selamatan beserta harganya di sumber-sumber lain di internet.

Setelah selamatan selesai, para peserta keluar. Karena aku tahu tempat itu akan ditutup, aku pun keluar. Di sebelah kanan area makam, di belakang,  terdapat tempat penyimpanan dua guci kuno peninggalan Eyang Djoego. Aku masuk ke tempat itu. Di situ ada seorang juru kunci yang siap mengambilkan air dari guci itu untuk kita. Dia mengambil air, menuangnya ke gelas, dan memberikannya kepadaku. Dia memintaku untuk berbalik badan dan berdoa dengan menyebut nama itu sebelum meminumnya. Akupun berbalik, menunggu sebentar (tidak berdoa), kemudian berbalik ke posisi awal dan meminum air itu.

Aku berjalan keluar area makam sambil mengamati berbagai hal. Salah satunya adalah gapura area makam. 


Pada gapura itu terdapat ukiran yang bercerita sekilas tentang orang-orang yang dimakamkan di situ. Di langit-langit gapura tergantung sebuah lampu antik.Di depan gerbang terdapat larangan.


Kemudian aku memasuki area kelenteng. Di situ ada dua bangunan, yaitu kelenteng dan tempat ramalan ciam si.


Kelenteng

Kelenteng terdiri dari dua bangunan. Bangunan sebelah kiri merupakan tempat pemujaan Dewi Kwan Im (disebut “Gedung Kwan Im”). Aku tidak tahu bangunan sebelah kanan untuk apa, tetapi yang jelas di situ ada tiga tempat besar dupa yang diletakkan menghadap tiga jendela besar yang terbuka. Aku berpikir bahwa mungkin itu tempat untuk memuja langit. Di antara kedua bangunan tersebut terdapat lilin-lilin besar persembahan dari orang-orang. Aku melihat nama-nama orang yang memberikannya dan di antaranya ada dua nama perusahaan terkenal.



 Gedung Kwan Im



Bangunan sebelah kanan








Pengunjung diizinkan memotret di situ asalkan tidak di dalam bangunan. Memotret bagian dalam bangunan dari luar diperbolehkan. Karena aku suka melihat patung dewa-dewi, aku masuk ke Gedung Kwan Im. Setelah agak lama aku mengamat-amati patung-patung di dalam, penjaga masuk menghampiriku dan berkata, “Cuma mau lihat-lihat ya? Kalau sudah cukup bisa keluar.” OK, aku keluar..

Aku mengunjungi tempat ciam si. Di dalam ada seorang penjaga yang melayani orang-orang yang menggunakan ciam si. Orang ini jauh lebih ramah daripada penjaga kelenteng. Dia setia menjawab pertanyaan pengunjung dan mengajak ngobrol. Di situ kita bebas memotret.



Tempat Ciam Si
 
Kali itu, suasana di Gunung Kawi sepi, jauh berbeda dari yang kubayangkan dan yang kulihat saat pertama kali aku ke sana. Banyak kios dan toko yang tutup. Menurut orang-orang yang kutanyai, tempat itu ramai pada hari Minggu dan malam-malam tertentu. Bapak penjaga toko mengatakan bahwa jumlah pengunjung Gunung Kawi memang sudah berkurang. Begitu juga kata seorang blogger di internet. Namun karena sepi, aku jadi bisa leluasa melihat-lihat suasana. Aku juga bisa duduk dengan tenang dan merenungkan segala hal yang kulihat.








Setelah berjalan ke sana kemari, melihat-lihat, duduk, berpikir dan merenung, sekitar jam 1 aku memutuskan kembali ke kota. Aku berjalan turun ke terminal. Di situ aku melihat beberapa angkot biru muda, maka aku merasa senang karena ada angkot untuk kembali. Tidak ada orang di dalam angkot. Bapak-bapak yang sepertinya adalah sopir angkot duduk-duduk berbincang di sebuah tempat. Aku berkata kepada mereka bahwa aku mau pergi ke Kepanjen, lalu mereka menyuruhku duduk, menunggu di situ. Aku pikir mereka sedang menunggu ada penumpang lain. Beberapa saat kemudian, salah seorang dari mereka menelepon temannya dan mengatakan bahwa di situ ada penumpang yang mau ke Kepanjen. Tidak lama kemudian, datanglah sebuah angkot dan aku disuruh naik angkot itu. Ya, ternyata memang cukup sulit mendapat angkot di situ. Aku kembali ke kota dengan lancar, dalam waktu yang lebih singkat daripada waktu berangkat.

Senin, 05 Oktober 2015

Pergi ke Gunung Kawi (2 - Perjalanan)


Pada hari Sabtu, 3 Oktober 2015, aku pergi ke Gunung Kawi. Aku berangkat sekitar pukul 06.20. Berdasarkan info yang kudapat dari internet, aku pergi dengan angkot ke Terminal Arjosari (aku tinggal di Mondoroko, Singosari) dan mencari bis yang menuju Kepanjen. Aku bertanya ke petugas dan mereka bilang bisnya ada di belakang sendiri. Aku berjalan ke belakang dan menemukan bis “Tentrem” jurusan Malang-Blitar. Aku bertanya kepada sang kernet apakah mereka pergi ke Kepanjen dan ternyata mereka bilang tidak lewat Kepanjen. Setelah beberapa saat bingung, aku ingat bahwa aku bisa naik angkot menuju Gadang kemudian oper ke kendaraan menuju Kepanjen.

Aku berangkat pagi-pagi dengan maksud supaya bisa sampai di Gunung Kawi sekitar pukul 9, namun masalah itu memakan cukup banyak waktu. Akhirnya, aku naik angkot AMG menuju Gadang. Di Gadang, aku bertanya kepada seorang satpam dan mendapat info bahwa aku bisa pergi ke Kepanjen dengan naik angkot putih atau bis “Bagong”. Aku memilih naik bis “Bagong” dan ternyata itu adalah bis jurusan Malang-Blitar. Yang kutangkap dari info di internet, di Kepanjen terdapat dua terminal, yaitu Terminal Kepanjen dan Terminal Talangagung. Yang dilewati bis tersebut adalah Terminal Talangagung, maka aku diturunkan di depan terminal tersebut.

Seingatku, info-info di internet mengatakan bahwa angkot menuju Gunung Kawi ada tiga, yaitu yang berwarna biru muda (dari Kepanjen), merah muda (dari Talangagung), dan hijau muda (aku lupa dari mana). Sebelumnya, di jalan aku sudah melihat beberapa angkot biru muda, tapi aku tidak turun dan tetap menuju Talangagung. Aku menunggu di depan terminal, angkot tak kunjung lewat. Menurut Google Maps, di depan ada pertigaan dimana jalan ke kanan adalah “Jalan Raya Gunung Kawi”. Aku berjalan ke pertigaan tersebut dan memang papan penunjuk berkata bahwa jalan ke kanan adalah menuju Gunung Kawi. Aku berjalan menyeberang ke jalan itu. Singkat cerita, di situ aku menemukan angkot biru muda dan menaikinya. Kata Pak Sopir, angkot menuju Gunung Kawi cuma ada satu, ya yang berwarna biru muda itu..

Angkot ini berjalan cukup pelan, entah karena jalan naik atau karena sopir mencari penumpang atau keduanya. Sudah jalannya pelan, sempat berhenti pula di suatu tempat seperti pasar di Desa Kebobang. Saat itu di angkot hanya ada dua penumpang dan si sopir mencari penumpang baru. Aku mendengar Pak Sopir berkata kepada temannya “Aku munggah nang Gunung Kawi (aku naik ke Gunung Kawi).” Aku berkesimpulan bahwa rupanya angkot-angkot di sana tidak selalu naik ke Gunung Kawi. Mungkin tergantung apakah ada penumpang yang mau pergi ke sana. Di sepanjang jalan, penumpang silih berganti menaiki angkot ini namun hanya aku yang pergi ke Gunung Kawi. Awalnya aku pikir banyak orang yang pergi ke sana dengan angkot.

Akhirnya aku sampai di Gunung Kawi pada pukul setengah sepuluh lebih.

Pergi ke Gunung Kawi (1 - Pendahuluan)

Sudah lama aku ingin pergi ke Gunung Kawi. Tempat ini begitu terkenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan. Hal itulah yang menyebabkan aku penasaran dan ingin sekali pergi ke sana (sejak kecil aku tertarik pada hal-hal mistis). 

Aku pertama kali pergi ke sana pada malam hari tanggal 1 Januari 2015 bersama Bapak, sepupu beserta istrinya, dan seorang tetangga. Saat itu, suasana ramai, banyak sekali orang yang berkunjung. Aku melihat ada banyak orang yang berdoa di depan dan di dalam area makam. Aku sendiri hanya berdiri di depan dan berusaha melihat apa yang ada di dalam. Sekilas terlihat suasana Jawa yang begitu kental di dalam, dengan para petugas yang memakai pakaian adat Jawa berjaga di samping pintu. Sebenarnya aku ingin masuk, tapi malu pada Bapak dan saudara-saudaraku yang tidak mau masuk (kalau dipikir-pikir, ngapain juga aku malu..).

Setelah selesai melihat-lihat, kami berjalan keluar area makam. Kami menemukan tempat Ciam Si. Di tempat ini banyak orang yang mencoba meramal nasibnya, termasuk beberapa orang dari kami. Setelah itu, kami keluar, membeli dideh goreng, lalu pulang. Di sepanjang jalan keluar ada banyak penjual bunga, penginapan, toko-toko suvenir, depot dan rumah makan, dan peramal nasib. Suasana sangat hidup, ramai seperti pasar.
Aku adalah seorang Kristen sehingga tentu aku tidak setuju dengan praktek-praktek ritual di tempat itu. Namun tetap saja, aku terkesima melihat semua itu. Aku berniat kembali pada suatu hari nanti.

Aku suka jalan-jalan, namun tidak dapat mengendarai kendaraan bermotor. Oleh sebab itu, aku bergantung pada kendaraan umum. Aku mencari info di internet tentang apakah kita bisa pergi ke Gunung Kawi dengan kendaraan umum. Info yang kuperoleh mengatakan bahwa untuk pergi ke sana, kita bisa naik bis menuju Kepanjen dari Terminal Arjosari lalu naik angkot menuju Gunung Kawi. Itu terlihat sangat mudah. Ketika berada di sana sebelumnya, aku memang melihat sejumlah angkot berwarna biru muda diparkir di suatu tempat. OK, kalau begitu aku bisa pergi ke sana sendiri.

Suatu kali aku sempat berniat berangkat, namun tidak jadi. Setelah itu, keinginan pergi ke sana berangsur memudar. Kadang timbul, kadang tenggelam. Minggu lalu, karena kata-kata seorang teman, keinginan itu meledak dalam hatiku, “Aku mau ke sana Sabtu besok!” Meski selalu ada ragu di hatiku, akhirnya aku pergi.