Sabtu, 21 Juli 2018

Back to Reality

"Back to reality", sebuah frase yang sering muncul ketika liburan telah usai. Saat libur, banyak orang pergi berlibur ke tempat lain, seperti ke tempat wisata atau ke kota lain untuk pulang kampung, mengunjungi saudara, dan lain-lain. Saat waktu libur hampir atau sudah usai, mereka pergi kembali ke tempat mereka menjalankan aktivitas rutin, seperti kuliah atau bekerja, dan di saat itulah banyak orang menulis "back to reality" di media sosial.

Awalnya, aku heran kenapa orang-orang berkata seperti itu. Emang yang terjadi selama berlibur itu bukan realitas? 
Aku pikir aku telah menemukan jawabannya.

Tahun ini, dua kali aku berkesempatan dinas di luar kota bersama orang-orang perkebunan. Di sana aku hidup dan bekerja dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan orang-orang yang ada bersamaku sehari-hari. Aku melakukan pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaanku sehari-hari. Jika biasanya aku meracik, mencicip, dan menegetik di kantor, kali ini aku hidup di perkebunan yang jauh dari kota, serta pergi ke sana kemari dalam perjalanan berjam-jam untuk melihat kebun-kebun serta hal lain. Di kesempatan pertamaku di bulan Januari lalu, perjalanan tersebut hanya berlangsung selama lima hari. Namun, di kesempatan kedua, perjalanan berlangsung selama 13 hari. Lebih panjang, lebih jauh, lebih lama aku hidup bersama orang-orang lain tersebut.

Saat itu, aku merasa diriku berubah. Hal-hal yang sehari-harinya menjadi beban pikiranku, hal-hal yang menjadi concern-ku, kali ini sama sekali tidak kupikirkan. Dalam beberapa hal, ini menjadi sesuatu yang positif. Pengalaman baru, pengetahuan baru. Namun, dalam hal lain, ini berakibat negatif, karena aku sedang berusaha memperbaiki suatu hal dalam diriku, tapi jadi tidak kuurus. Bahkan temanku pun jadi tidak kuurus, aku seperti lupa bahwa ada dia dalam hidupku.

Jadi bagaimana itu bisa terjadi?
Ketika berada di tempat sehari-hariku, tempat kerja di Sidoarjo, tempat jalan-jalan di Surabaya, kampung halaman di Malang, pikiranku tidak lagi mengamati hal-hal yang ada di luar. Karena sudah begitu terbiasa dengan apapun yang ada di luar (orang, jalan, bangunan, dll), pikiranku tidak lagi berfokus pada hal-hal tersebut sehingga dia punya kesempatan untuk memikirkan hal-hal yang dalam seperti masalahku, prinsipku, problem temanku, dan sebagainya.

Ketika aku berada di lingkungan yang sama sekali berbeda, fokus jadi beralih. Pikiranku sibuk mengamati hal-hal yang ada di luar. Orang, jalan, bangunan. Bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka berbicara, alang dan tongkonan. Apa yang kulihat saat bangun tidur, air yang sangat dingin, makanan yang kumakan. Semuuua berbeda. Akibatnya, tidak ada masalah, prinsip, dan teman dalam pikiranku.

Lucunya, ketika hometown semakin dekat, hal-hal yang dalam tersebut berangsur kembali muncul di pikiran.  Pikiranku seperti sedikit demi sedikit menjadi normal. Perjalanan berjam-jam, tiba di kos, masuk kerja di kantor, dan akhirnya.. back to reality.

Mungkin itu juga yang dirasakan orang-orang ketika berlibur. Untuk sejenak, mereka tidak berada di dalam realitas mereka dan akhirnya ketika kembali, mereka melihat realitas, back to reality.