Selasa, 24 Mei 2016

Bahasa yang Benar

Saat kecil, entah sejak TK atau waktu SD, orang tuaku sering membahas bahasa yang digunakan teman-temanku di sekolah. Intinya, menurut mereka, bahasa teman-temanku itu tidak benar. Bahasa Indonesia dicampur Jawa. Contoh : "ndek sana", "diambilno". Bagi mereka, yang benar adalah : "di sana", "diambilin". Di rumah, kami menggunakan "bahasa yang benar" itu, kami tidak berkata "ndek sana", "diambilno, dan sebagainya. Karena mereka mengajarkan seperti itu, aku pun jadi menganut pemikiran itu. Sampai-sampai, aku memberi istilah "bahasa ndek-ndekan" untuk bahasa teman-temanku.

Seiring makin lamanya aku berada di sekolah, aku jadi berbicara seperti teman-temanku, tapi hanya di sekolah. Ketika di rumah, aku menggunakan "bahasa yang benar". Saat itu, aku takut dicela orang tuaku karena berbicara seperti teman-temanku.

Ada hal lain soal bahasa yang juga sering dibahas oleh orang tuaku, bahkan sampai sekarang. Ibuku sering berkata "Orang Cina itu ngerusak bahasa". Kenapa begitu? Orang Tionghoa memang menggunakan bahasa yang berbeda. Dalam bahasa mereka, bahasa Indonesia dicampur Jawa, dan bahkan ada beberapa kata dalam kedua bahasa tersebut yang dimodifikasi. Seiring bertambahnya usiaku, aku menemukan semakin banyak kosa kata dalam bahasa mereka yang berbeda dengan bahasa aslinya. Berikut contoh-contohnya.


Indonesia
Jawa (dialek sini)
Tionghoa (dialek sini)
bukunya
bukune
bukue
siapa
sopo
sapa
agak
rodok
sodok
jangan
ojok
bok
ambil
jupuk
ambik, amek (atau amik?)
temani
kancani
koncoi



*Daftar ini akan kutambah jika aku menemukan kosa kata yang menarik.



(diambil dari www.jpnn.com)

(Pada beberapa bagian dalam tulisan ini, mungkin kata "dialek" lebih tepat daripada "bahasa".)

Aku berteman dengan banyak orang Tionghoa waktu TK, SD, SMP, kuliah, dan bekerja saat ini. Itulah sebabnya aku tahu bahasa mereka. Dalam berbicara, bahasa yang kugunakan tergantung pada kondisi. Ketika aku sedang bersama orang Tionghoa, aku berbicara dengan bahasa mereka, tapi tidak sepenuhnya (karena tidak fasih dan ada rasa tidak pas). Ketika sedang bersama orang Jawa, aku menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia yang di atas kusebut "bahasa yang benar". Itu terjadi secara otomatis, tanpa lama berpikir. Penentuannya tidak semata berdasarkan suku lawan bicaraku. Misalnya, ada orang Jawa, tapi dia bersekolah di sekolah yang mayoritas siswa atau mahasiswanya adalah orang Tionghoa, maka biasanya aku berbicara bahasa Tionghoa dengan mereka, karena biasanya mereka menggunakan bahasa itu.

Saat kuliah, aku punya dua orang adik tingkat, mereka orang Tionghoa. Yang satu berasal dari Semarang, satunya lagi dari Tulungagung. Aku menemukan bahwa mereka tidak berbicara menggunakan bahasa yang digunakan orang-orang Tionghoa di sini. Saat berbicara bahasa Indonesia, mereka menggunakan "bahasa yang benar". Saat berbicara bahasa Jawa, mereka berbicara seperti orang Jawa. Jadi tidak ada bahasa campur Indonesia-Jawa. Aku bertanya-tanya, "Kenapa mereka berbicara seperti itu? Apa karena mereka dulu bersekolah di sekolah negeri?" (Sebenarnya aku tak pernah tahu apakah mereka dulu bersekolah di sekolah negeri).

Pertanyaan itu baru terjawab ketika aku pergi ke rumah nenekku di Jawa Tengah, di Kota Purwodadi. Saat itu, aku mendengar ibuku berbicara dengan orang-orang Tionghoa yang dia kenal. Ternyata, mereka memang berbicara seperti orang Jawa di sana, dengan dialek dan logat yang sama seperti yang digunakan orang Jawa. Aku sudah berkali-kali pergi ke rumah nenekku (sejak kecil), namun baru saat itu aku menyadari fakta itu.

Kembali ke soal "merusak bahasa" dan "bahasa yang benar". Ketika beranjak dewasa, aku meninjau kembali pemikiran itu. Apakah benar jika dibilang "Orang Cina ngerusak bahasa"? Lalu apakah bahasa yang kami gunakan di rumah benar-benar "bahasa yang benar?". Faktanya, dimana-mana, selalu ada variasi dalam bahasa. Kita lihat saja bahasa Jawa. Dialek orang Semarang berbeda dengan orang Malang dan kedua dialek tersebut berbeda dengan dialek orang Banyuwangi. Meskipun bahasanya sama, memang beda tempat bisa jadi beda dialek. Aku membaca uraian macam dialek bahasa Jawa dalam link berikut :
http://infobimo.blogspot.co.id/2013/11/macam-varian-dialek-dialek-bahasa-jawa.html

Nah, menurutku, dialek yang digunakan orang Tionghoa di sini hanyalah suatu varian. Tidak ada masalah dengan itu. Itu bukanlah suatu perusakan terhadap bahasa. Ternyata, dialek mereka disebut sebagai dialek Tionghoa Surabaya. Berikut ini link yang bisa dibaca untuk mendapatkan informasi mengenai dialek tersebut :
http://www.jpnn.com/read/2016/02/08/355557/Dialek-Unik-Tionghoa-Surabaya-yang-Bisa-Bikin-Anda-Senyum-senyum-Sendiri!-
http://www.jpnn.com/read/2016/02/08/355563/Mau-Tau-Asal-usul-dan-Sejarah-Dialek-Unik-Tionghoa-Surabaya-Masuk-Sini!-

Kemudian soal "bahasa yang benar". Nyatanya, bahasa tersebut tidaklah benar-benar benar. Adakah kata "diambilin" dalam bahasa Indonesia yang baku? Adakah akhiran -in dalam bahasa Indonesia? Sebenarnya bahasa itu juga merupakan varian. Setahuku, bahasa itu digunakan oleh orang Jakarta dan mungkin menyebar lewat media seperti TV. Mungkin karena bahasa itu digunakan di TV, orang tuaku jadi menganggapnya sebagai bahasa yang benar. Padahal, dasar apa yang membuatnya jadi benar? Tidak ada. Statusnya sama saja dengan varian yang ada di daerah lain.

Beberapa minggu yang lalu, ketika menonton suatu acara bertema Imlek di TV, ibuku berkata lagi, "Orang Cina itu ngerusak bahasa". Lalu aku menimpali, "Semua ya ngerusak bahasa. Lha masak ada kata "digituin". Ibuku menjawab, "Iyo sih..".

Kamis, 19 Mei 2016

Nikah Beda Suku

Tulisan ini kubuat hanya berdasarkan pandanganku. Aku sadar, di luar sana terdapat kondisi-kondisi yang tak kualami sehingga aku tidak bisa memahami situasinya. Oleh sebab itu, saya mohon maaf apabila Anda membaca tulisan ini dan merasa tersinggung.

Sejauh yang kuingat, pertama kali aku mendengar larangan nikah beda suku adalah ketika SMA. Saat itu, aku tergabung dalam sebuah KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) di persekutuan Kristen di sekolah. Kakak KTB-ku, yang adalah orang Jawa, menyukai seorang gadis Batak. Salah seorang teman KTB-ku juga orang Batak. Ketika bercerita bahwa dia menyukai orang Batak, si kakak bertanya kepada si teman, "Orang Batak nggak boleh nikah sama suku lain ya?". Si teman menjawab, intinya, tidak boleh atau sulit. Saat itulah aku baru tahu bahwa di dunia ini ada larangan nikah beda suku.

Namun saat itu hingga beberapa waktu setelahnya, aku pikir cuma orang Batak yang tidak boleh menikah dengan suku lain, sedangkan orang Jawa dan Tionghoa boleh. Kenapa? Aku orang Jawa dan aku tidak pernah mendengar peraturan itu di keluarga besarku. Bahkan, ada dua orang di keluarga dan kerabat kami yang menikah dengan orang Tionghoa. Dari situ aku berpikir bahwa orang Jawa boleh menikah dengan orang Tionghoa, orang Tionghoa boleh menikah dengan orang Jawa. Mungkin karena orang Jawa dan Tionghoa sudah lama hidup bersama di tanah ini, maka bolehlah kami saling menikahi, begitu pikirku.

Saat kuliah semester 1, aku menyukai seorang gadis Tionghoa. Aku mendekati dia dan ternyata dia bisa menjadi dekat denganku. Saat mendekatinya, aku tahu kalau ternyata ibunya adalah orang Jawa. Kami kemudian berpacaran. Entah saat pendekatan atau sudah berpacaran, barulah aku tahu bahwa orang Tionghoa tidak boleh (atau sulit) menikah dengan orang suku lain. Karena hal tersebut, ayah dan ibunya dulu sempat mengalami kesulitan.

Aku merasa beruntung sekali saat itu karena aku menyukai dan mendekati seorang Tionghoa tanpa tahu bahwa orang Tionghoa tidak boleh menikah dengan orang suku lain, namun ternyata, ibunya adalah orang Jawa dan mereka (orang tua si gadis, red.) tidak mempermasalahkan anaknya mau menikah dengan orang suku apa.
(Saat ini kami sudah tidak berpacaran.)

Selama kuliah hingga saat ini, aku melihat beberapa teman pacaran beda suku dan banyak dari mereka yang akhirnya putus karena perbedaan tersebut. Sebagian dari mereka tidak direstui, ditentang, bahkan diperlakukan tidak baik oleh orang tua mereka.

Aku selalu merasa kasihan dan prihatin ketika peristiwa semacam itu menimpa temanku. Bagiku, aturan itu tidak masuk akal. Kalau sudah sama-sama kenal Tuhan, apa masalahnya coba? Adakah Tuhan melarang pernikahan beda suku? Dulu Tuhan memang melarang orang Israel menikah dengan bangsa lain, namun perlu diingat bahwa saat itu, yang kenal Tuhan cuma orang Israel, sedangkan bangsa lain tidak. Dari cerita teman-temanku, aku tahu bahwa sebagian hamba Tuhan juga melarang anaknya nikah beda suku. Wow.. HAMBA TUHAN. Jika aturan itu digugat dan dihadapkan kepada Alkitab, aturan itu sudah kalah.

Lalu coba kulihat dari segi budaya atau adat. Mungkin ada keberatan karena alasan beda budaya. Kapankah kita melakukan praktek adat? Dari yang kulihat, sebagian besar dari kita melakukan praktek adat hanya pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan dan kematian. Sedangkan dalam praktek hidup sehari-hari, aku hampir tidak melihatnya. Coba kita bandingkan, apa saja yang kita lakukan setiap hari, mulai pagi hingga malam, mulai Senin hingga Minggu, apakah bisa secara signifikan disebut "beda budaya"?. Aku melihat, suku apapun kita, cara hidup kita serupa. Sebagian besar makanan kita sama. Kita belajar, bekerja, beribadah, berolahraga, jalan-jalan, dll, dengan cara yang sama. Jika begitu, apa masalahnya jika kita menikah? Kalau kita sama orang Amerika, layaklah disebut "beda budaya", tapi kita yang sama-sama tinggal di tanah ini, menurutku sama saja..

Ada seorang hamba Tuhan, namanya Pak Stephen Tong, dia seorang Tionghoa. Aku suka mendengarkan atau membaca ajarannya. Suatu hari, aku menemukan rekaman ajarannya tentang pernikahan beda suku. Beliau tidak menentang pernikahan beda suku. Yang membuatku lebih kagum lagi, ibunya juga tidak menentang, padahal mereka lahir di Tiongkok lho.. Salah seorang saudara Pak Tong malah menikah dengan orang Amerika. Pernah suatu kali, ada jemaat yang anaknya mau menikah dengan orang beda suku. Dia meminta Pak Tong untuk menentang pernikahan tersebut, namun Pak Tong tidak mau. Bagiku, dalam hal ini, Pak Stephen Tong adalah teladan.

Selama ini, aku tak bisa mengontrol hatiku mau jatuh di mana. Aku merasa iri kepada teman-teman yang bisa melakukannya. "Aku nggak boleh nikah sama orang Jawa, ya udah aku nggak naksir orang Jawa", kenapa aku tidak bisa seperti itu.. Aku berharap, semoga aku tidak jatuh cinta kepada orang yang beda suku, yang tidak bisa menikah denganku. Jika ternyata hal itu terjadi, aku memohon kepada Tuhan untuk mencabut perasaan itu.

Sekali lagi maaf jika Anda tersinggung. Tulisan ini kubuat hanya berdasarkan pandanganku. Aku sadar, di luar sana terdapat kondisi-kondisi yang tak kualami sehingga aku tidak bisa memahami situasinya.