Kamis, 19 Mei 2016

Nikah Beda Suku

Tulisan ini kubuat hanya berdasarkan pandanganku. Aku sadar, di luar sana terdapat kondisi-kondisi yang tak kualami sehingga aku tidak bisa memahami situasinya. Oleh sebab itu, saya mohon maaf apabila Anda membaca tulisan ini dan merasa tersinggung.

Sejauh yang kuingat, pertama kali aku mendengar larangan nikah beda suku adalah ketika SMA. Saat itu, aku tergabung dalam sebuah KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) di persekutuan Kristen di sekolah. Kakak KTB-ku, yang adalah orang Jawa, menyukai seorang gadis Batak. Salah seorang teman KTB-ku juga orang Batak. Ketika bercerita bahwa dia menyukai orang Batak, si kakak bertanya kepada si teman, "Orang Batak nggak boleh nikah sama suku lain ya?". Si teman menjawab, intinya, tidak boleh atau sulit. Saat itulah aku baru tahu bahwa di dunia ini ada larangan nikah beda suku.

Namun saat itu hingga beberapa waktu setelahnya, aku pikir cuma orang Batak yang tidak boleh menikah dengan suku lain, sedangkan orang Jawa dan Tionghoa boleh. Kenapa? Aku orang Jawa dan aku tidak pernah mendengar peraturan itu di keluarga besarku. Bahkan, ada dua orang di keluarga dan kerabat kami yang menikah dengan orang Tionghoa. Dari situ aku berpikir bahwa orang Jawa boleh menikah dengan orang Tionghoa, orang Tionghoa boleh menikah dengan orang Jawa. Mungkin karena orang Jawa dan Tionghoa sudah lama hidup bersama di tanah ini, maka bolehlah kami saling menikahi, begitu pikirku.

Saat kuliah semester 1, aku menyukai seorang gadis Tionghoa. Aku mendekati dia dan ternyata dia bisa menjadi dekat denganku. Saat mendekatinya, aku tahu kalau ternyata ibunya adalah orang Jawa. Kami kemudian berpacaran. Entah saat pendekatan atau sudah berpacaran, barulah aku tahu bahwa orang Tionghoa tidak boleh (atau sulit) menikah dengan orang suku lain. Karena hal tersebut, ayah dan ibunya dulu sempat mengalami kesulitan.

Aku merasa beruntung sekali saat itu karena aku menyukai dan mendekati seorang Tionghoa tanpa tahu bahwa orang Tionghoa tidak boleh menikah dengan orang suku lain, namun ternyata, ibunya adalah orang Jawa dan mereka (orang tua si gadis, red.) tidak mempermasalahkan anaknya mau menikah dengan orang suku apa.
(Saat ini kami sudah tidak berpacaran.)

Selama kuliah hingga saat ini, aku melihat beberapa teman pacaran beda suku dan banyak dari mereka yang akhirnya putus karena perbedaan tersebut. Sebagian dari mereka tidak direstui, ditentang, bahkan diperlakukan tidak baik oleh orang tua mereka.

Aku selalu merasa kasihan dan prihatin ketika peristiwa semacam itu menimpa temanku. Bagiku, aturan itu tidak masuk akal. Kalau sudah sama-sama kenal Tuhan, apa masalahnya coba? Adakah Tuhan melarang pernikahan beda suku? Dulu Tuhan memang melarang orang Israel menikah dengan bangsa lain, namun perlu diingat bahwa saat itu, yang kenal Tuhan cuma orang Israel, sedangkan bangsa lain tidak. Dari cerita teman-temanku, aku tahu bahwa sebagian hamba Tuhan juga melarang anaknya nikah beda suku. Wow.. HAMBA TUHAN. Jika aturan itu digugat dan dihadapkan kepada Alkitab, aturan itu sudah kalah.

Lalu coba kulihat dari segi budaya atau adat. Mungkin ada keberatan karena alasan beda budaya. Kapankah kita melakukan praktek adat? Dari yang kulihat, sebagian besar dari kita melakukan praktek adat hanya pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan dan kematian. Sedangkan dalam praktek hidup sehari-hari, aku hampir tidak melihatnya. Coba kita bandingkan, apa saja yang kita lakukan setiap hari, mulai pagi hingga malam, mulai Senin hingga Minggu, apakah bisa secara signifikan disebut "beda budaya"?. Aku melihat, suku apapun kita, cara hidup kita serupa. Sebagian besar makanan kita sama. Kita belajar, bekerja, beribadah, berolahraga, jalan-jalan, dll, dengan cara yang sama. Jika begitu, apa masalahnya jika kita menikah? Kalau kita sama orang Amerika, layaklah disebut "beda budaya", tapi kita yang sama-sama tinggal di tanah ini, menurutku sama saja..

Ada seorang hamba Tuhan, namanya Pak Stephen Tong, dia seorang Tionghoa. Aku suka mendengarkan atau membaca ajarannya. Suatu hari, aku menemukan rekaman ajarannya tentang pernikahan beda suku. Beliau tidak menentang pernikahan beda suku. Yang membuatku lebih kagum lagi, ibunya juga tidak menentang, padahal mereka lahir di Tiongkok lho.. Salah seorang saudara Pak Tong malah menikah dengan orang Amerika. Pernah suatu kali, ada jemaat yang anaknya mau menikah dengan orang beda suku. Dia meminta Pak Tong untuk menentang pernikahan tersebut, namun Pak Tong tidak mau. Bagiku, dalam hal ini, Pak Stephen Tong adalah teladan.

Selama ini, aku tak bisa mengontrol hatiku mau jatuh di mana. Aku merasa iri kepada teman-teman yang bisa melakukannya. "Aku nggak boleh nikah sama orang Jawa, ya udah aku nggak naksir orang Jawa", kenapa aku tidak bisa seperti itu.. Aku berharap, semoga aku tidak jatuh cinta kepada orang yang beda suku, yang tidak bisa menikah denganku. Jika ternyata hal itu terjadi, aku memohon kepada Tuhan untuk mencabut perasaan itu.

Sekali lagi maaf jika Anda tersinggung. Tulisan ini kubuat hanya berdasarkan pandanganku. Aku sadar, di luar sana terdapat kondisi-kondisi yang tak kualami sehingga aku tidak bisa memahami situasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar