Selasa, 06 Oktober 2015

Pergi ke Gunung Kawi (3 - Di Lokasi Wisata)

Aku pikir perjalananku saat itu begitu menarik sehingga aku ingin menulisnya. Aku pikir cerita ini juga bisa jadi kontroversial. Haha.. terkesan berlebihan. Namun percayalah, jika aku menceritakan kisah ini kepada semua orang yang kukenal, sebagian besar dari mereka akan memberi tanggapan negatif.

Aku sudah melihat entah gerbang atau gapura yang aku yakini sebagai jalan menuju lokasi karena jalannya berupa tangga (aku ingat bahwa jalan menuju lokasi wisata berupa tangga), namun Pak Sopir tidak menurunkan aku di situ. Aku juga sudah melihat terminal dimana banyak angkot parkir, tetapi angkot terus berjalan naik dan aku diam saja, hingga tiba di suatu parkiran. Aku sebelumnya bertanya kepada sopir berapa tarif angkot sampai Gunung Kawi, tapi aku tidak mendengar dengan jelas jawabannya dan tidak bertanya lagi. Yang pasti berakhiran “-las ewu”. Aku beri dia uang Rp 15.000 dan dia mengucapkan terima kasih. Menurut sebuah website, tarifnya adalah Rp 10.000, tetapi itu pada tahun 2013.

Begitu kami tiba, seorang Bapak datang menyambut menuju angkot, berbincang sebentar dengan sopir, kemudian aku turun dan angkot pergi. Bapak tersebut menunjukkanku jalan menuju makam. Ternyata, lokasi dimana angkot menurunkanku memang lebih dekat dengan lokasi makam. Dia bertanya “Mau ke makam ya? Dari mana? Sekolah atau kerja?”, dan sebagainya. Dia terus berjalan bersamaku. Aku curiga bahwa orang ini adalah pemandu tak diundang yang pada akhirnya akan meminta uang. Dia menyuruhku membeli bunga pada seorang penjual bunga. Di sana ada banyak kios penjual bunga, namun saat itu hanya sedikit yang berjualan. Ada pilihan bunga yang seharga Rp 2.000 dan Rp 5.000 (yang Rp 5.000 lebih banyak). Aku pilih yang Rp 2.000. Bunga tersebut sudah diletakkan pada nampan.

Seperti yang telah kuceritakan di bagian 1, saat pertama kali pergi ke sana, aku ingin sekali masuk area makam, namun tidak masuk. Aku bertekad kali ini mau masuk. Aku ingin melihat bagian dalam area makam dan aku ingin melihat makam itu dari dekat. Oleh karena itu, aku pikir aku harus membeli bunga supaya aku terlihat punya alasan untuk mendekati makam (untuk nyekar).

Si Bapak terus berjalan mengiringiku dan membawakan bunga tersebut. Sesampainya di depan area makam, dia menyuruhku untuk cuci tangan dulu di toilet. Aku pergi ke toilet, mencuci tangan dan muka, kemudian kembali. Setelah itu, kami masuk.

Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan berarsitektur Jawa. Di bagian depan dalam bangunan tersebut terdapat semacam aula yang beralas karpet hijau untuk pengunjung. Di kedua sisi aula terdapat beberapa jam antik. Makam terletak di bagian dalam. Di situ ada beberapa orang yang berpakaian adat Jawa, yang mungkin disebut juru kunci.

Setelah kami masuk, kami duduk di bagian belakang aula, di dekat pintu. Kemudian salah seorang yang kusebut juru kunci itu mendatangi kami. Dia memberiku beberapa bungkusan kecil dan berkata bahwa benda-benda itu nanti untuk aku bawa ke makam dan salah satunya untuk aku bawa pulang. Dia dan Pak Pemandu memintaku dengan halus untuk memberi uang seikhlasku sebagai ganti benda-benda itu. Aku menolaknya. Aku berkata bahwa aku tidak mau menggunakan benda-benda itu dan hanya mau memberi bunga (aku pikir aku akan menabur bunga di makam itu). Aku berpikir bahwa benda-benda itu merupakan persembahan bagi makam sehingga tentu saja aku tidak mau melakukannya. Mereka tidak mempermasalahkan, namun tetap memohon uang untuk “yang bersih-bersih”. OK, aku beri Rp 10.000. Kemudian Pak Pemandu berkata, “Lima ribu lagi mas.” Aku memberinya Rp 5.000 dan dia meletakkannya di atas tumpukan bunga tadi.

Selanjutnya, aku diajak maju ke makam. Aku tidak ingat bunga itu kemudian dibawa oleh Pak Pemandu atau si juru kunci yang membawa bungkusan tadi, dan sepertinya bunga itu diserahkan kepada juru kunci yang berada di makam. Hal itu terjadi begitu cepat dan karena Pak Pemandu terus berbicara kepadaku, aku jadi tidak bisa memperhatikan detail proses tersebut. Mungkin lain kali aku akan mencobanya lagi.

Ternyata, aku tidak menaburkan sendiri bunga ke makam. Aku bahkan tidak duduk di pinggir makam. Anda bisa mencari gambar makam tersebut di Google. Aku tidak memotretnya karena dilarang. Ada batas antara makam dengan pengunjung. Di situ, aku disuruh Pak Pemandu berdoa, bersemedi, kepada Tuhan dengan menyebut nama “Eyang Djoego” dan “Eyang Soedjo” dan menyampaikan permohonanku. Aku hanya terus menjawab “Iya.” Kemudian timbullah rasa kuatir bahwa orang itu akan meminta uang, maka aku berkata kepadanya “Pak, njenengan tilar mawon mboten nopo-nopo. Kulo badhe mlampah-mlampah (Pak, Anda tinggal saja, tidak apa-apa. Saya nanti mau jalan-jalan).” Lalu dia berkata bahwa dia akan menunggu di belakang. Ya sudah..

Di situ terdapat dua makam, yang satu makam Eyang Djoego dan yang lain makam Eyang Soedjo. Di internet ada banyak sumber yang menceritakan siapa mereka. Di depan makam itu tentu aku tidak berdoa, tetapi duduk diam dan melihat-lihat. Aku melihat makam, hiasan-hiasan di sekitarnya, asap kemenyan, sang juru kunci yang sibuk entah melakukan apa saja, dan suatu keluarga di sampingku yang sepertinya terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan, sedang khusyuk berdoa. Sang juru kunci kemudian meletakkan bungkusan-bungkusan kecil di depan kami. 

Setelah beberapa saat mengamati, ditambah dengan kekuatiran atas barang-barang berhargaku di dalam tas yang tadinya kutinggalkan, aku memutuskan kembali ke belakang. Baru sejenak aku berdiri, Pak Pemandu maju menghampiriku dan berkata “Itu diambil, Mas.” Ternyata, bungkusan-bungkusan kecil yang diletakkan juru kunci di hadapan kami adalah untuk dibawa pulang. Pak Pemandu mengambilnya untukku. Kami kembali duduk, lalu Pak Pemandu memberikan bungkusan-bungkusan itu kepadaku. Ada tiga buah bungkusan. Dia berkata, “Ini nanti yang satu sampeyan buka, direndem di air lima menit, terus diminum dan dipakai mandi. Yang dua sampeyan simpen di lemari, ditaruh paling atas, jangan dicampur pakaian dalam.” Aku mengiyakannya dan memasukkan benda-benda itu ke tas. Kemudian Pak Pemandu berkata, “Jangan sampai tas sampeyan dilangkahi.” Dia lalu berkata bahwa aku nanti bisa mendapat berkah, seperti naik pangkat, naik gaji, disenangi bos, dan sebagainya.

Kami berbincang sebentar. Dari situ aku tahu bahwa jam-jam antik yang diletakkan di situ adalah pemberian orang-orang yang sudah mendapat berkah sebagai ucapan terima kasih. Pak Pemandu kemudian meminta uang seikhlasku sebagai tips. Karena uang kecilku sudah tinggal sedikit, aku berkata bahwa aku perlu menukar uang. Dia kemudian menyarankan untuk membeli sesuatu di toko di luar supaya mendapat kembalian. Sebelum keluar, aku bertanya apakah nanti aku bisa kembali masuk area makam, dan dia berkata “Bisa, tapi sebentar lagi makam tutup, buka lagi jam 3.” Saat itu memang akan diadakan selamatan yang menurut jadwal adalah jam 10 dan ternyata setelah selesai selamatan, makam akan ditutup sampai tiba waktu ziarah berikutnya. Kamipun keluar.

Saat itu aku menemukan hal aneh. Tadi ketika mau masuk, aku mau melepas sandalku di tangga depan pintu. Ada seorang penjaga yang juga berpakaian adat di luar pintu, dia memintaku untuk meletakkan sandalku di suatu tempat di sebelah pintu, padahal aku lihat alas kaki orang-orang diletakkan di tangga. Aku tidak menghiraukannya dan tetap meletakkan sandalku di tangga. Ketika keluar, aku melihat kedua sandalku sudah tertumpuk di tempat di sebelah pintu itu tadi. Aku tetap tidak tahu kenapa sandalku harus diletakkan di situ.

Aku dan Pak Pemandu berjalan ke toko, lalu aku membeli sesuatu dan memberinya sedikit uang. Sebelum berpisah, dia menyarankanku untuk pulang paling lambat jam 2, karena di atas jam 2 sudah sulit mendapatkan angkot. Kemudian kamipun berpisah.

Aku berjalan kembali ke makam. Di situ selamatan sedang berlangsung. Saat selamatan berlangsung, pengunjung tidak bisa maju mendekati makam. Aku duduk di tempat yang sama dan mengamati acara selamatan itu. Ada empat keluarga yang mengikuti selamatan. Di depan mereka masing-masing ada besek yang berisi makanan. Juru kunci mengucapkan doa dengan suara keras untuk orang-orang itu. Tampaknya semua peserta sudah memberikan daftar pokok doa sebelum acara berlangsung. Satu pokok doa yang selalu kuingat adalah untuk seorang anak yang akan kuliah di Kanada. Dari doa yang juru kunci ucapkan, aku menyimpulkan bahwa mereka menggunakan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo sebagai pengantara antara mereka dengan Tuhan. Selain mengamati selamatan, aku juga mengamati arsitektur di dalam bangunan. Aku mengamati langit-langit, pilar-pilar berukir, dan lain-lain.

Untuk mengikuti selamatan, kita perlu mendaftar di loket dan membayar. Di atas loket ada daftar harga. Harga selamatan tergantung pada makanan yang mau kita beli. Seingatku, harga untuk “ayam biasa” adalah Rp 80.000. Anda bisa mendapatkan info lengkap tentang jenis-jenis perlengkapan selamatan beserta harganya di sumber-sumber lain di internet.

Setelah selamatan selesai, para peserta keluar. Karena aku tahu tempat itu akan ditutup, aku pun keluar. Di sebelah kanan area makam, di belakang,  terdapat tempat penyimpanan dua guci kuno peninggalan Eyang Djoego. Aku masuk ke tempat itu. Di situ ada seorang juru kunci yang siap mengambilkan air dari guci itu untuk kita. Dia mengambil air, menuangnya ke gelas, dan memberikannya kepadaku. Dia memintaku untuk berbalik badan dan berdoa dengan menyebut nama itu sebelum meminumnya. Akupun berbalik, menunggu sebentar (tidak berdoa), kemudian berbalik ke posisi awal dan meminum air itu.

Aku berjalan keluar area makam sambil mengamati berbagai hal. Salah satunya adalah gapura area makam. 


Pada gapura itu terdapat ukiran yang bercerita sekilas tentang orang-orang yang dimakamkan di situ. Di langit-langit gapura tergantung sebuah lampu antik.Di depan gerbang terdapat larangan.


Kemudian aku memasuki area kelenteng. Di situ ada dua bangunan, yaitu kelenteng dan tempat ramalan ciam si.


Kelenteng

Kelenteng terdiri dari dua bangunan. Bangunan sebelah kiri merupakan tempat pemujaan Dewi Kwan Im (disebut “Gedung Kwan Im”). Aku tidak tahu bangunan sebelah kanan untuk apa, tetapi yang jelas di situ ada tiga tempat besar dupa yang diletakkan menghadap tiga jendela besar yang terbuka. Aku berpikir bahwa mungkin itu tempat untuk memuja langit. Di antara kedua bangunan tersebut terdapat lilin-lilin besar persembahan dari orang-orang. Aku melihat nama-nama orang yang memberikannya dan di antaranya ada dua nama perusahaan terkenal.



 Gedung Kwan Im



Bangunan sebelah kanan








Pengunjung diizinkan memotret di situ asalkan tidak di dalam bangunan. Memotret bagian dalam bangunan dari luar diperbolehkan. Karena aku suka melihat patung dewa-dewi, aku masuk ke Gedung Kwan Im. Setelah agak lama aku mengamat-amati patung-patung di dalam, penjaga masuk menghampiriku dan berkata, “Cuma mau lihat-lihat ya? Kalau sudah cukup bisa keluar.” OK, aku keluar..

Aku mengunjungi tempat ciam si. Di dalam ada seorang penjaga yang melayani orang-orang yang menggunakan ciam si. Orang ini jauh lebih ramah daripada penjaga kelenteng. Dia setia menjawab pertanyaan pengunjung dan mengajak ngobrol. Di situ kita bebas memotret.



Tempat Ciam Si
 
Kali itu, suasana di Gunung Kawi sepi, jauh berbeda dari yang kubayangkan dan yang kulihat saat pertama kali aku ke sana. Banyak kios dan toko yang tutup. Menurut orang-orang yang kutanyai, tempat itu ramai pada hari Minggu dan malam-malam tertentu. Bapak penjaga toko mengatakan bahwa jumlah pengunjung Gunung Kawi memang sudah berkurang. Begitu juga kata seorang blogger di internet. Namun karena sepi, aku jadi bisa leluasa melihat-lihat suasana. Aku juga bisa duduk dengan tenang dan merenungkan segala hal yang kulihat.








Setelah berjalan ke sana kemari, melihat-lihat, duduk, berpikir dan merenung, sekitar jam 1 aku memutuskan kembali ke kota. Aku berjalan turun ke terminal. Di situ aku melihat beberapa angkot biru muda, maka aku merasa senang karena ada angkot untuk kembali. Tidak ada orang di dalam angkot. Bapak-bapak yang sepertinya adalah sopir angkot duduk-duduk berbincang di sebuah tempat. Aku berkata kepada mereka bahwa aku mau pergi ke Kepanjen, lalu mereka menyuruhku duduk, menunggu di situ. Aku pikir mereka sedang menunggu ada penumpang lain. Beberapa saat kemudian, salah seorang dari mereka menelepon temannya dan mengatakan bahwa di situ ada penumpang yang mau ke Kepanjen. Tidak lama kemudian, datanglah sebuah angkot dan aku disuruh naik angkot itu. Ya, ternyata memang cukup sulit mendapat angkot di situ. Aku kembali ke kota dengan lancar, dalam waktu yang lebih singkat daripada waktu berangkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar