Aku sudah melihat entah gerbang atau gapura yang aku yakini
sebagai jalan menuju lokasi karena jalannya berupa tangga (aku ingat bahwa
jalan menuju lokasi wisata berupa tangga), namun Pak Sopir tidak menurunkan aku
di situ. Aku juga sudah melihat terminal dimana banyak angkot parkir, tetapi
angkot terus berjalan naik dan aku diam saja, hingga tiba di suatu parkiran.
Aku sebelumnya bertanya kepada sopir berapa tarif angkot sampai Gunung Kawi,
tapi aku tidak mendengar dengan jelas jawabannya dan tidak bertanya lagi. Yang
pasti berakhiran “-las ewu”. Aku beri dia uang Rp 15.000 dan dia mengucapkan
terima kasih. Menurut sebuah website, tarifnya adalah Rp 10.000, tetapi itu
pada tahun 2013.
Begitu kami tiba, seorang Bapak datang menyambut menuju
angkot, berbincang sebentar dengan sopir, kemudian aku turun dan angkot pergi.
Bapak tersebut menunjukkanku jalan menuju makam. Ternyata, lokasi dimana angkot
menurunkanku memang lebih dekat dengan lokasi makam. Dia bertanya “Mau ke makam
ya? Dari mana? Sekolah atau kerja?”, dan sebagainya. Dia terus berjalan
bersamaku. Aku curiga bahwa orang ini adalah pemandu tak diundang yang pada
akhirnya akan meminta uang. Dia menyuruhku membeli bunga pada seorang penjual
bunga. Di sana ada banyak kios penjual bunga, namun saat itu hanya sedikit yang
berjualan. Ada pilihan bunga yang seharga Rp 2.000 dan Rp 5.000 (yang Rp 5.000
lebih banyak). Aku pilih yang Rp 2.000. Bunga tersebut sudah diletakkan pada
nampan.
Seperti yang telah kuceritakan di bagian 1, saat pertama
kali pergi ke sana, aku ingin sekali masuk area makam, namun tidak masuk. Aku
bertekad kali ini mau masuk. Aku ingin melihat bagian dalam area makam dan aku
ingin melihat makam itu dari dekat. Oleh karena itu, aku pikir aku harus
membeli bunga supaya aku terlihat punya alasan untuk mendekati makam (untuk
nyekar).
Si Bapak terus berjalan mengiringiku dan membawakan bunga
tersebut. Sesampainya di depan area makam, dia menyuruhku untuk cuci tangan
dulu di toilet. Aku pergi ke toilet, mencuci tangan dan muka, kemudian kembali.
Setelah itu, kami masuk.
Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan
berarsitektur Jawa. Di bagian depan dalam bangunan tersebut terdapat semacam
aula yang beralas karpet hijau untuk pengunjung. Di kedua sisi aula terdapat
beberapa jam antik. Makam terletak di bagian dalam. Di situ ada beberapa orang
yang berpakaian adat Jawa, yang mungkin disebut juru kunci.
Setelah kami masuk, kami duduk di bagian belakang aula, di
dekat pintu. Kemudian salah seorang yang kusebut juru kunci itu mendatangi
kami. Dia memberiku beberapa bungkusan kecil dan berkata bahwa benda-benda itu
nanti untuk aku bawa ke makam dan salah satunya untuk aku bawa pulang. Dia dan
Pak Pemandu memintaku dengan halus untuk memberi uang seikhlasku sebagai ganti
benda-benda itu. Aku menolaknya. Aku berkata bahwa aku tidak mau menggunakan
benda-benda itu dan hanya mau memberi bunga (aku pikir aku akan menabur bunga
di makam itu). Aku berpikir bahwa benda-benda itu merupakan persembahan bagi
makam sehingga tentu saja aku tidak mau melakukannya. Mereka tidak
mempermasalahkan, namun tetap memohon uang untuk “yang bersih-bersih”. OK, aku
beri Rp 10.000. Kemudian Pak Pemandu berkata, “Lima ribu lagi mas.” Aku
memberinya Rp 5.000 dan dia meletakkannya di atas tumpukan bunga tadi.
Selanjutnya, aku diajak maju ke makam. Aku tidak ingat bunga
itu kemudian dibawa oleh Pak Pemandu atau si juru kunci yang membawa bungkusan
tadi, dan sepertinya bunga itu diserahkan kepada juru kunci yang berada di
makam. Hal itu terjadi begitu cepat dan karena Pak Pemandu terus berbicara
kepadaku, aku jadi tidak bisa memperhatikan detail proses tersebut. Mungkin
lain kali aku akan mencobanya lagi.
Ternyata, aku tidak menaburkan sendiri bunga ke makam. Aku
bahkan tidak duduk di pinggir makam. Anda bisa mencari gambar makam tersebut di
Google. Aku tidak memotretnya karena dilarang. Ada batas antara makam dengan
pengunjung. Di situ, aku disuruh Pak Pemandu berdoa, bersemedi, kepada Tuhan
dengan menyebut nama “Eyang Djoego” dan “Eyang Soedjo” dan menyampaikan
permohonanku. Aku hanya terus menjawab “Iya.” Kemudian timbullah rasa kuatir
bahwa orang itu akan meminta uang, maka aku berkata kepadanya “Pak, njenengan
tilar mawon mboten nopo-nopo. Kulo badhe mlampah-mlampah (Pak, Anda tinggal
saja, tidak apa-apa. Saya nanti mau jalan-jalan).” Lalu dia berkata bahwa dia
akan menunggu di belakang. Ya sudah..
Di situ terdapat dua makam, yang satu makam Eyang Djoego dan
yang lain makam Eyang Soedjo. Di internet ada banyak sumber yang menceritakan
siapa mereka. Di depan makam itu tentu aku tidak berdoa, tetapi duduk diam dan
melihat-lihat. Aku melihat makam, hiasan-hiasan di sekitarnya, asap kemenyan,
sang juru kunci yang sibuk entah melakukan apa saja, dan suatu keluarga di
sampingku yang sepertinya terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan,
sedang khusyuk berdoa. Sang juru kunci kemudian meletakkan bungkusan-bungkusan
kecil di depan kami.
Setelah beberapa saat mengamati, ditambah dengan kekuatiran
atas barang-barang berhargaku di dalam tas yang tadinya kutinggalkan, aku
memutuskan kembali ke belakang. Baru sejenak aku berdiri, Pak Pemandu maju
menghampiriku dan berkata “Itu diambil, Mas.” Ternyata, bungkusan-bungkusan
kecil yang diletakkan juru kunci di hadapan kami adalah untuk dibawa pulang.
Pak Pemandu mengambilnya untukku. Kami kembali duduk, lalu Pak Pemandu
memberikan bungkusan-bungkusan itu kepadaku. Ada tiga buah bungkusan. Dia
berkata, “Ini nanti yang satu sampeyan buka, direndem di air lima menit, terus
diminum dan dipakai mandi. Yang dua sampeyan simpen di lemari, ditaruh paling
atas, jangan dicampur pakaian dalam.” Aku mengiyakannya dan memasukkan
benda-benda itu ke tas. Kemudian Pak Pemandu berkata, “Jangan sampai tas
sampeyan dilangkahi.” Dia lalu berkata bahwa aku nanti bisa mendapat berkah,
seperti naik pangkat, naik gaji, disenangi bos, dan sebagainya.
Kami berbincang sebentar. Dari situ aku tahu bahwa jam-jam
antik yang diletakkan di situ adalah pemberian orang-orang yang sudah mendapat
berkah sebagai ucapan terima kasih. Pak Pemandu kemudian meminta uang seikhlasku
sebagai tips. Karena uang kecilku sudah tinggal sedikit, aku berkata bahwa aku
perlu menukar uang. Dia kemudian menyarankan untuk membeli sesuatu di toko di
luar supaya mendapat kembalian. Sebelum keluar, aku bertanya apakah nanti aku
bisa kembali masuk area makam, dan dia berkata “Bisa, tapi sebentar lagi makam tutup,
buka lagi jam 3.” Saat itu memang akan diadakan selamatan yang menurut jadwal
adalah jam 10 dan ternyata setelah selesai selamatan, makam akan ditutup sampai
tiba waktu ziarah berikutnya. Kamipun keluar.
Saat itu aku menemukan hal aneh. Tadi ketika mau masuk, aku mau
melepas sandalku di tangga depan pintu. Ada seorang penjaga yang juga
berpakaian adat di luar pintu, dia memintaku untuk meletakkan sandalku di suatu
tempat di sebelah pintu, padahal aku lihat alas kaki orang-orang diletakkan di
tangga. Aku tidak menghiraukannya dan tetap meletakkan sandalku di tangga.
Ketika keluar, aku melihat kedua sandalku sudah tertumpuk di tempat di sebelah
pintu itu tadi. Aku tetap tidak tahu kenapa sandalku harus diletakkan di situ.
Aku dan Pak Pemandu berjalan ke toko, lalu aku membeli sesuatu
dan memberinya sedikit uang. Sebelum berpisah, dia menyarankanku untuk pulang
paling lambat jam 2, karena di atas jam 2 sudah sulit mendapatkan angkot. Kemudian
kamipun berpisah.
Aku berjalan kembali ke makam. Di situ selamatan sedang
berlangsung. Saat selamatan berlangsung, pengunjung tidak bisa maju mendekati makam.
Aku duduk di tempat yang sama dan mengamati acara selamatan itu. Ada empat
keluarga yang mengikuti selamatan. Di depan mereka masing-masing ada besek yang
berisi makanan. Juru kunci mengucapkan doa dengan suara keras untuk orang-orang
itu. Tampaknya semua peserta sudah memberikan daftar pokok doa sebelum acara
berlangsung. Satu pokok doa yang selalu kuingat adalah untuk seorang anak yang
akan kuliah di Kanada. Dari doa yang juru kunci ucapkan, aku menyimpulkan bahwa mereka menggunakan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo sebagai pengantara antara mereka dengan Tuhan. Selain mengamati selamatan, aku juga mengamati
arsitektur di dalam bangunan. Aku mengamati langit-langit, pilar-pilar berukir,
dan lain-lain.
Untuk mengikuti selamatan, kita perlu mendaftar di loket dan
membayar. Di atas loket ada daftar harga. Harga selamatan tergantung pada makanan
yang mau kita beli. Seingatku, harga untuk “ayam biasa” adalah Rp 80.000. Anda
bisa mendapatkan info lengkap tentang jenis-jenis perlengkapan selamatan
beserta harganya di sumber-sumber lain di internet.
Setelah selamatan selesai, para peserta keluar. Karena aku
tahu tempat itu akan ditutup, aku pun keluar. Di sebelah kanan area makam, di
belakang, terdapat tempat penyimpanan dua
guci kuno peninggalan Eyang Djoego. Aku masuk ke tempat itu. Di situ ada
seorang juru kunci yang siap mengambilkan air dari guci itu untuk kita. Dia
mengambil air, menuangnya ke gelas, dan memberikannya kepadaku. Dia memintaku
untuk berbalik badan dan berdoa dengan menyebut nama itu sebelum meminumnya.
Akupun berbalik, menunggu sebentar (tidak berdoa), kemudian berbalik ke posisi
awal dan meminum air itu.
Aku berjalan keluar area makam sambil mengamati berbagai
hal. Salah satunya adalah gapura area makam.
Pada gapura itu terdapat ukiran yang bercerita sekilas
tentang orang-orang yang dimakamkan di situ. Di langit-langit gapura tergantung
sebuah lampu antik.Di depan gerbang terdapat larangan.
Kemudian aku memasuki area kelenteng. Di situ ada dua
bangunan, yaitu kelenteng dan tempat ramalan ciam si.
Kelenteng
Kelenteng terdiri dari dua bangunan. Bangunan sebelah kiri
merupakan tempat pemujaan Dewi Kwan Im (disebut “Gedung Kwan Im”). Aku tidak
tahu bangunan sebelah kanan untuk apa, tetapi yang jelas di situ ada tiga
tempat besar dupa yang diletakkan menghadap tiga jendela besar yang terbuka.
Aku berpikir bahwa mungkin itu tempat untuk memuja langit. Di antara kedua
bangunan tersebut terdapat lilin-lilin besar persembahan dari orang-orang. Aku
melihat nama-nama orang yang memberikannya dan di antaranya ada dua nama
perusahaan terkenal.
Gedung Kwan Im
Bangunan sebelah kanan
Pengunjung diizinkan memotret di situ asalkan tidak di dalam
bangunan. Memotret bagian dalam bangunan dari luar diperbolehkan. Karena aku suka melihat patung dewa-dewi, aku masuk ke Gedung Kwan
Im. Setelah agak lama aku mengamat-amati patung-patung di dalam, penjaga masuk menghampiriku
dan berkata, “Cuma mau lihat-lihat ya? Kalau sudah cukup bisa keluar.” OK, aku
keluar..
Aku mengunjungi tempat ciam si. Di dalam ada seorang penjaga
yang melayani orang-orang yang menggunakan ciam si. Orang ini jauh lebih ramah
daripada penjaga kelenteng. Dia setia menjawab pertanyaan pengunjung dan mengajak
ngobrol. Di situ kita bebas memotret.
Tempat Ciam Si
Kali itu, suasana di Gunung Kawi sepi, jauh berbeda dari
yang kubayangkan dan yang kulihat saat pertama kali aku ke sana. Banyak kios
dan toko yang tutup. Menurut orang-orang yang kutanyai, tempat itu ramai pada
hari Minggu dan malam-malam tertentu. Bapak penjaga toko mengatakan bahwa
jumlah pengunjung Gunung Kawi memang sudah berkurang. Begitu juga kata seorang
blogger di internet. Namun karena sepi, aku jadi bisa leluasa melihat-lihat
suasana. Aku juga bisa duduk dengan tenang dan merenungkan segala hal yang
kulihat.
Setelah berjalan ke sana kemari, melihat-lihat, duduk, berpikir dan merenung, sekitar jam 1 aku memutuskan kembali ke kota. Aku berjalan turun ke terminal. Di situ aku melihat beberapa angkot biru muda, maka aku merasa senang karena ada angkot untuk kembali. Tidak ada orang di dalam angkot. Bapak-bapak yang sepertinya adalah sopir angkot duduk-duduk berbincang di sebuah tempat. Aku berkata kepada mereka bahwa aku mau pergi ke Kepanjen, lalu mereka menyuruhku duduk, menunggu di situ. Aku pikir mereka sedang menunggu ada penumpang lain. Beberapa saat kemudian, salah seorang dari mereka menelepon temannya dan mengatakan bahwa di situ ada penumpang yang mau ke Kepanjen. Tidak lama kemudian, datanglah sebuah angkot dan aku disuruh naik angkot itu. Ya, ternyata memang cukup sulit mendapat angkot di situ. Aku kembali ke kota dengan lancar, dalam waktu yang lebih singkat daripada waktu berangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar