Selasa, 17 Januari 2017

Ke Jakarta, 8 Januari 2017

Minggu, 8 Januari 2017, aku pergi ke Jakarta dalam rangka dinas. Aku mengalami empat kejadian menarik.

1. Aku pergi ke Jakarta dengan pesawat dari Juanda dan pergi ke Juanda dari Malang. Di terminal Arjosari, saat itu, aku dan Jane sedang menunggu bus Patas berikutnya. Bus yang sedang parkir di situ sudah penuh penumpang dan mulai beranjak untuk berangkat ke Surabaya. Ketika bus itu berjalan mundur keluar dari tempat parkirnya, ia menabrak bus yang sedang berjalan melintang di belakangnya. Inilah pertama kali aku melihat bus bertabrakan.

2. Di Juanda, aku sedang menunggu waktu keberangkatan. Aku duduk di kursi kiri di sebuah rangkaian yang terdiri dari tiga kursi. Di kursi kanan, duduk seorang pria bule tua. Tiba-tiba datanglah dua orang pria pribumi, mereka minta bule tersebut untuk berfoto bersama. Masing-masing mereka berfoto bergantian dengan merangkul si bule. Aku berpikir, "Ngapain sih orang-orang ini? Norak banget". Hahaha.. Maaf.
(Sebenarnya, istilah "pribumi" punya konotasi negatif dalam pikiranku, karena bagiku istilah itu bernada rasis, tapi aku tidak tahu istilah lain yang bisa menggantikannya.)

3. Di pesawat, seperti biasa, menjelang take-off, pramugari memberi panduan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi kondisi darurat. Beberapa saat setelah panduan itu selesai diberikan, seorang pramugari mendatangi pria yang duduk di depanku. Dia meminta pria tersebut untuk pindah ke sebuah kursi di dekat pintu darurat karena orang yang duduk di kursi tersebut tidak bersedia memikul tanggung jawab untuk membuka pintu darurat jika hal buruk terjadi. Aku penasaran, kenapa pria itu yang dipilih? Apakah ada kriteria tertentu untuk seseorang agar dapat ditunjuk menjadi pembuka pintu darurat?

4. Aku pertama kali naik pesawat pada tahun 2014. Ketika itu, saat pesawat mulai turun, telingaku sakit sekali dan  pendengaranku berkurang (jadi agak budheg) hingga beberapa jam setelah mendarat. 8 Januari lalu, aku naik pesawat untuk ketujuh kalinya. Telinga tidak lagi sakit, namun pendengaran tetap berkurang. Susahnya, kali ini aku pergi sendirian, naik taksi sendiri, harus bercakap sendiri dengan sopir, berdiskusi soal jalan yang mau kami lewati dengan kondisi agak budheg. Aku takut kalau-kalau aku tidak mendengar kata-kata si sopir dan kemudian dibawanya berputar-putar mengelilingi Jakarta. Tapi puji Tuhan itu tidak terjadi. Sebelumnya, aku selalu naik pesawat ke Jakarta bersama teman sehingga meski telingaku agak budheg, aku tetap tenang..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar